Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu janji politik yang paling mencolok dan sering digaungkan dalam kampanye pemilu lalu. Dengan retorika kesejahteraan dan gizi anak, program ini sekilas tampak sebagai langkah kemanusiaan yang mulia. Namun, di balik gagasan muluk itu, muncul banyak kritik tajam dari berbagai kalangan---baik ekonom, pengamat kebijakan publik, hingga masyarakat akar rumput---yang menilai bahwa program ini cenderung terburu-buru, tidak terukur, dan mengabaikan prioritas kebangsaan yang lebih mendesak.
1. Anggaran Fantastis di Tengah APBN yang Terbatas
Salah satu sorotan paling kuat terhadap program MBG adalah soal pembiayaannya. Pemerintah diperkirakan harus menggelontorkan ratusan triliun rupiah per tahun untuk mendanai distribusi makanan bergizi gratis di seluruh wilayah Indonesia. Di tengah postur APBN yang masih terbebani oleh utang, subsidi energi, dan kebutuhan pemulihan ekonomi pascapandemi, program ini dinilai membebani fiskal secara tidak wajar. Banyak ekonom menilai, jika tidak dikelola dengan sangat cermat, MBG berpotensi menjadi lubang anggaran yang boros dan tidak efisien.
2. Tidak Menjawab Akar Masalah Gizi Secara Struktural
Program ini memang menyasar anak-anak sekolah dan kelompok rentan, namun pendekatannya lebih kepada bagi-bagi makanan daripada membenahi sistem pangan nasional. Masalah gizi buruk di Indonesia tidak semata-mata karena kurang makanan, melainkan karena akses terhadap pangan sehat yang tidak merata, pendidikan gizi yang minim, serta buruknya layanan kesehatan dasar. MBG tidak menyentuh akar-akar struktural ini, sehingga berisiko menjadi solusi instan yang hanya bersifat kosmetik dan jangka pendek.
3. Potensi Korupsi dan Kebocoran yang Tinggi
Sejarah menunjukkan bahwa program-program distribusi barang secara masif sangat rawan diselewengkan. Dari pengadaan bahan pangan, logistik, hingga distribusi ke daerah-daerah terpencil, rantai birokrasi panjang membuka banyak celah korupsi. Jika tidak diawasi dengan sangat ketat, MBG berpotensi melahirkan mafia pangan baru dan praktik rente yang merugikan negara. Alih-alih menyehatkan rakyat, program ini bisa menjadi ladang proyek elite yang berkedok populisme.
4. Mengabaikan Prioritas Pembangunan yang Lebih Mendesak
Banyak pihak mempertanyakan, mengapa MBG dijadikan prioritas utama, sementara sektor pendidikan, reformasi kesehatan, dan ketahanan energi masih penuh persoalan. Sekolah-sekolah rusak, guru honorer belum sejahtera, layanan puskesmas terbatas, dan harga pangan masih fluktuatif, namun anggaran negara justru diarahkan untuk membiayai makan siang gratis. Ini menunjukkan bahwa MBG lebih merupakan strategi politik jangka pendek daripada kebijakan publik berbasis kebutuhan riil rakyat.
5. Risiko Ketergantungan dan Minimnya Kemandirian Komunitas
Program makan gratis berpotensi membentuk mental ketergantungan, terutama jika tidak dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi keluarga dan masyarakat lokal. Jika anak-anak terbiasa disuplai makanan dari pemerintah tanpa keterlibatan aktif keluarga, sekolah, atau komunitas dalam penyediaannya, maka justru akan melemahkan kemandirian dan kesadaran gizi jangka panjang.