Mohon tunggu...
Muhammad Al Zikri
Muhammad Al Zikri Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Pollitik, Universitas Muhammadiyah Jakarta

mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UMJ, peserta mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi, Dosen Pengampu Dr. Nani Nurani Muksin, M.Si

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cancel Cultur: Dilema Filsafat Moral dalam Ruang Komunikasi Digital dalam Kasus Abidzar Al-Ghifari : Tinjauan Filsafat Dan Etika Komunikasi

17 Juli 2025   11:34 Diperbarui: 17 Juli 2025   11:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FIlm a Businness Proposal yang di bintangi abizar (sumber: CNN Indonesia)

Kurangnya empati Abidzar terhadap penggemar yang memiliki ekspektasi terhadap karya remake dan karakter asli juga menjadi sorotan. Perasaan "terbebani" yang diungkapkan secara publik, alih-alih membangun jembatan komunikasi, justru menciptakan jarak dan rasa tidak dihargai di kalangan penggemar. Kegagalan komunikator dalam memahami konteks dan audiens digital ini merupakan faktor kunci. Pernyataan Abidzar menunjukkan ketidakpahaman terhadap ekspektasi audiensnya, terutama penggemar K-drama, dan kurangnya kesadaran tentang bagaimana kata-katanya akan diterima di ruang digital. Hal ini mengarah pada kegagalan dalam memahami "konteks komunikasi" dan menerapkan prinsip "penghormatan" dan "empati" dalam komunikasi publik. Di era digital, di mana basis penggemar sangat terlibat dan vokal, figur publik harus memiliki rasa tanggung jawab komunikatif dan sensitivitas budaya yang lebih tinggi. Sebuah kesalahan langkah, bahkan jika tidak disengaja, dapat dengan cepat meningkat menjadi krisis karena sifat diskusi daring yang cepat dan tidak tersaring.

Analisis Etis Reaksi Publik: "Cancel Culture" sebagai Kontrol Sosial dan Vigilantisme Digital

Abidzar di wawancara (Sumber: AntvKlik)
Abidzar di wawancara (Sumber: AntvKlik)

Reaksi publik terhadap Abidzar dapat dipahami sebagai bentuk "cancel culture" yang berfungsi sebagai kontrol sosial. Publik berupaya menuntut akuntabilitas atas tindakan atau kata-kata yang dianggap tidak pantas. Namun, fenomena ini juga menunjukkan karakteristik digital vigilantism, yaitu tindakan individu atau kelompok yang mengambil "keadilan" ke tangan mereka sendiri melalui platform online, seringkali tanpa proses hukum formal. "Cancel culture" adalah bentuk pengucilan di dunia digital yang menyimpang dari norma sosial.

Reaksi publik terhadap Abidzar mencerminkan karakteristik digital vigilantism melalui penghakiman kolektif, penarikan dukungan (boikot film), dan tekanan sosial untuk "menghukum". Ada ambivalensi dalam kontrol sosial digital ini, yaitu antara akuntabilitas dan anarki. Meskipun "cancel culture" seringkali dianggap sebagai "alat untuk menuntut tanggung jawab" dan "bentuk kontrol sosial" , penghakiman kolektif ini seringkali "mengabaikan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial" dan dapat bersifat "represif", didorong oleh emosi dan tidak kontekstual. Hal ini menciptakan paradoks: meskipun bertujuan untuk akuntabilitas, metode yang digunakan seringkali mengabaikan proses yang adil dan uji tuntas, mengarah pada vigilantisme. Kasus Abidzar mengilustrasikan ambivalensi ini. Meskipun protes publik dapat dilihat sebagai upaya untuk meminta pertanggungjawaban, kecepatan dan tingkat keparahan "pembatalan" (boikot film) tanpa proses formal menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan proporsionalitas.

Dampak "Cancel Culture" pada Individu dan Diskursus Publik

"Cancel culture" memiliki dampak yang signifikan dan seringkali merugikan, baik bagi individu yang menjadi sasaran maupun bagi diskursus publik secara keseluruhan. Dampak bagi Korban Bagi individu yang menjadi korban "cancel culture", dampaknya bisa sangat parah. Mereka dapat merasa terkucilkan, terisolasi, dan kesepian. Fenomena ini seringkali berubah menjadi perilaku intimidasi atau bullying, yang dapat meningkatkan risiko korban mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.

Dampak bagi Pelaku Bagi mereka yang terlibat dalam "cancel culture", fenomena ini dapat menurunkan tingkat empati karena pelaku cenderung menolak untuk mendengarkan atau memahami posisi korban.

Dampak bagi Pengamat Bahkan bagi pengamat, "cancel culture" dapat menimbulkan rasa cemas bahwa orang lain akan menemukan suatu hal pada diri mereka yang bisa digunakan untuk melawan di kemudian hari.

Dampak pada Diskursus Publik Secara lebih luas, "cancel culture" dapat menghambat diskusi yang sehat dan membuat orang merasa takut untuk berpendapat. Hal ini menciptakan "chilling effect" di mana individu memilih untuk membatasi ekspresi mereka untuk menghindari potensi penghakiman publik. Kondisi ini memperparah polarisasi sosial, karena ruang untuk nuansa dan perbedaan pendapat menjadi semakin sempit. Dampak negatif yang parah terhadap kesehatan mental korban dan "chilling effect" pada kebebasan berekspresi merupakan ancaman mendasar bagi kesejahteraan individu dan wacana demokratis. Hal ini menyoroti bahwa "dilema filsafat moral" melampaui prinsip-prinsip abstrak hingga penderitaan manusia yang konkret dan pengikisan ruang publik yang benar-benar terbuka.

Alternatif Solusi dan Rekomendasi: Menuju Komunikasi Digital yang Lebih Etis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun