Dalam buku "Etika dan Filsafat Komunikasi" karya (Mufid, M. 2012). bagian "B. Teknologi Komunikasi" mengulas bagaimana teknologi tidak hanya sekadar alat bantu komunikasi, melainkan juga sebuah kekuatan yang membentuk dan mengatur masyarakat. Mufid kemungkinan besar mengacu pada konsep teknologi komunikasi yang mencakup perangkat keras (hardware), infrastruktur, serta struktur organisasi dan nilai-nilai sosial yang menyertainya. Dalam pandangan ini, teknologi komunikasi dipahami sebagai suatu sistem kompleks yang memungkinkan individu mengumpulkan, memproses, dan bertukar informasi. Ini berarti pembahasan tidak terbatas pada aspek teknis semata, tetapi juga mencakup bagaimana teknologi memengaruhi perilaku, interaksi, dan norma-norma dalam masyarakat.
Lebih lanjut, Muhammad Mufid kemungkinan menekankan bahwa teknologi komunikasi memiliki peran yang determinan dalam membentuk peradaban dan perilaku manusia. Hal ini sejalan dengan pandangan determinisme teknologi, di mana teknologi dilihat sebagai penggerak utama perubahan sosial. Oleh karena itu, dalam konteks etika dan filsafat komunikasi, teknologi komunikasi tidak dipandang sebagai entitas netral, melainkan sebagai faktor yang membawa implikasi etis dan filosofis yang signifikan, seperti isu privasi, penyebaran informasi, dan pembentukan opini publik. Pemahaman ini mendorong pembaca untuk secara kritis menganalisis dampak teknologi terhadap etika berkomunikasi dan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Etika Komunikasi Digital: Prinsip prinsip di Era Siber
Etika komunikasi di era digital menjadi semakin penting seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Dalam konteks ini, etika dan komunikasi saling terkait, membentuk dasar untuk interaksi yang bermakna dan positif di dunia maya. Prinsip-Prinsip Etika Komunikasi yang Relevan di Ruang Digital berdasarkan buku Etika Komunikasi di Era Siber: Teori dan Praktik. (Junaedi, 2023)
Kejujuran (Honesty) Prinsip kejujuran menekankan pentingnya menyampaikan informasi dengan jelas dan tanpa menutupi fakta yang relevan. Informasi yang disampaikan tidak boleh menyesatkan atau manipulatif. Dalam konteks digital, ini berarti berbagi informasi yang akurat dan tidak menyebarkan informasi yang salah atau disinformasi.
Transparansi Transparansi berhubungan dengan keterbukaan dalam berbagi informasi dan keputusan. Dalam interaksi digital, ini mendorong individu untuk berperilaku jujur dan terbuka dalam pandangan mereka.
Tanggung Jawab (Responsibility) Tanggung jawab mencakup kesadaran akan dampak dari pesan yang disampaikan terhadap penerima dan komunitas secara keseluruhan. Hal ini berarti bertanggung jawab atas tindakan dan perilaku dalam komunikasi digital, termasuk konten yang dibagikan dan komentar yang dibuat.
Penghormatan (Respect) Prinsip ini melibatkan penghormatan terhadap martabat dan hak orang lain dalam setiap interaksi. Ini termasuk menggunakan bahasa yang sopan, menghargai pandangan orang lain, dan menjaga kerahasiaan informasi pribadi. Penting untuk menghindari ujaran kasar, provokatif, pornografi, atau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Empati Empati berarti mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain. Empati membantu menciptakan suasana komunikasi yang lebih positif dan produktif. Dalam "cancel culture", kurangnya empati dapat menjadi penghalang komunikasi yang efektif, menyebabkan interaksi menjadi bermusuhan atau tidak memuaskan.
Kualitas interaksi digital dapat terdegradasi secara signifikan ketika prinsip-prinsip etika ini diabaikan. Mekanisme "cancel culture", seperti penghakiman instan, informasi yang tidak terverifikasi, respons emosional, intimidasi, dan kurangnya empati terhadap korban, secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip etika yang disebutkan. Hal ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menegakkan standar etika dalam interaksi digital, yang pada gilirannya menyebabkan lingkungan komunikatif yang terdegradasi. Degradasi ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap wacana digital, mempersulit terjadinya musyawarah publik yang bermakna.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi literatur (library research). Pendekatan ini dipilih untuk menggali pemahaman yang mendalam mengenai dinamika komunikasi antara mahasiswa internasional dan lokal dalam konteks komunikasi lintas budaya, berdasarkan sumber-sumber tertulis yang relevan.