Selama pandemi, seorang teman developer pernah bercanda: "Kodeku selesai bukan karena inspirasi, tapi karena jam dinding di kantor virtual terus berdetak." Â Di balik kelakar itu, tersimpan realitas pahit yang diungkap Kuutila dkk. (2020): tekanan waktu adalah penumpang gelap di hampir setiap proyek perangkat lunak. Â Kita sering mengira deadline hanyalah tanggal merah di kalender, padahal ia menanam bom waktu di kualitas, kesehatan tim, dan tentu saja---anggaran.
Tulisan ini mengajak kita menelisik ulang obsesi terhadap kecepatan. Â Tak sekadar mengulang temuan ilmiah, namun menautkannya dengan nadi ekonomi proyek perangkat lunak. Â Karena pada akhirnya, buruburu juga urusan rupiah.
Anatomi Time Pressure: Kenapa Semua Serba Mepet?
"Kalau bisa selesai besok, kenapa lusa?" Â --Slogan tak resmi banyak manajer.
Studi Kuutila memetakan empat biang keladi jadwal mimpi:
Estimasi yang terlalu optimis -- Mirip menulis soal matematika dengan angka tebakan. Â Begitu realitas datang, rumus runtuh.
Permintaan klien yang lincah -- Fitur berubah seperti cuaca tropis: cerah pagi, badai siang.
Budaya hero lembur -- Kantor yang mengglorifikasi begadang seolah ia mantra produktivitas.
Buffer waktu tipis -- Setiap keterlambatan tahap awal menetes jadi banjir di fase uji.
Mengapa daftar di atas terjadi berulang? Â Karena keputusan sering diambil dengan lensa teknis belaka. Â Software Engineering Economics mengingatkan: setiap baris kode punya harga, setiap jam lembur punya bunga, dan setiap bug punya biaya reparasi di masa depan (technical debt). Â Kala faktor ini diabaikan, jadilah kita meneken kontrak dengan bayangbayang sendiri.
Efek Domino: Dari Sprint ke Sprint -- Kualitas Siapa yang Rebah?
YerkesDodson menyatakan sedikit stres bisa memacu fokus. Â Tetapi grafiknya bukan garis lurus; ia menukik tajam saat tekanan melewati ambang. Â Kuutila mencatat pola serupa: