Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salah Kaprah Indonesia sebagai Negara Paling "Sejahtera" di Dunia

25 Mei 2025   09:25 Diperbarui: 25 Mei 2025   16:29 4027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia mungkin tidak lebih "sejahtera" dari negara lain, tetapi lebih bersyukur dan terhubung | Ilustrasi oleh Indhira Adhista via Pixabay

Belakangan ini, orang-orang ramai membicarakan klaim mengejutkan dari sebuah studi mentereng yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling "sejahtera" di dunia. Studi yang dimaksud adalah Global Flourishing Study (GFS), proyek penelitian senilai $43,4 juta yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Harvard, Universitas Baylor, Gallup, dan Pusat Sains Terbuka (COS). Mereka menyurvei lebih dari 200.000 orang di 22 negara.

Sayangnya, banyak orang Indonesia yang memperlakukan studi tersebut secara tidak adil. Di media sosial, hampir semua mengutip temuan GFS hanya dengan membagikan tangkapan layar tajuk berita di media-media arus utama, tanpa pernah membaca laporan aslinya. Dengan tajuk yang sebagian besar clickbait, ditambah situasi riil ekonomi dan politik yang serba sulit, tidak mengherankan bila kebanyakan orang menyikapi GFS secara partisan.

Mereka merespons GFS layaknya survei elektabilitas atau survei kepuasan publik: mereka mendukungnya jika menyukai hasilnya, tetapi menolaknya bila tidak sesuai ekspektasi sambil menuding adanya kepentingan terselubung ("penelitian pesanan"). Misalnya, dalam artikel Kompas.com yang membahas GFS, seseorang berkomentar, "Artikel bohong, tidak sesuai fakta riilnya!" Di tempat lain, seseorang "sama sekali tidak percaya dengan hasil survei itu", membuat kekagumannya pada Universitas Harvard "sirna".

Memang, kritik terhadap netralitas penelitian ilmiah sah-sah saja. Namun, penelitian ilmiah tetap harus dinilai dengan semestinya, bukan didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka. Oleh karena itu, artikel ini berupaya untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman publik dan substansi GFS yang sebenarnya. Di sini saya berharap dapat menguraikan temuan kunci GFS beserta konteks yang melingkupinya untuk mengurangi potensi kesalahpahaman.

Latar belakang dan temuan utama

Mari kita mulai dengan keresahan yang mendasari proyek GFS: terlalu banyaknya penelitian di masa lalu yang mengukur kesejahteraan sebuah negara berdasarkan pertimbangan ekonomi atau materi, khususnya Produk Domestik Bruto (PDB). Para peneliti GFS menilai bahwa pertumbuhan PDB tidak dapat menggambarkan kesejahteraan secara keseluruhan.

Pertumbuhan PDB, misalnya, tidak mampu menangkap seberapa jauh masyarakat mengalami hidup yang bermakna dan memuaskan. Tanyakan saja pada warga Bandung yang terjebak macet di jalan Cibiru saat jam sibuk. Kemacetan lalu lintas meningkatkan konsumsi bensin, yang muncul dalam metrik ekonomi sebagai nilai tambah untuk PDB, tetapi jelas menurunkan kesejahteraan (well-being) dengan meningkatkan rasa stres dan frustrasi masyarakat.

Pengukuran sempit itulah yang hendak diatasi oleh proyek GFS. 

"Global Flourishing Study merupakan jenis penelitian yang dibutuhkan untuk memahami secara mendalam interaksi elemen-elemen kunci dalam pengalaman manusia yang membantu kita hidup dengan baik, bahagia, dan merasakan makna serta tujuan hidup," ujar Dr. Tyler VanderWeele, salah satu direktur proyek dari Universitas Harvard.

Temuan kunci GFS (sekaligus paling mengejutkan) adalah bahwa negara-negara dengan PDB per kapita yang lebih tinggi cenderung memiliki "kesejahteraan komposit" yang lebih rendah. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah seperti Indonesia, Meksiko, Kenya, dan Tanzania memiliki rata-rata skor kesejahteraan komposit yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara makmur seperti Amerika Serikat dan Jepang.

Ambil contoh Indonesia dan Jepang. Secara intuitif, Indonesia yang memiliki PDB per kapita $4.876 dan harapan hidup 74 tahun mungkin akan tertinggal jauh di belakang Jepang dengan PDB per kapita $33.766 dan harapan hidup 85 tahun. Namun, GFS menunjukkan hasil yang lebih kompleks: Indonesia berada di peringkat tertinggi dan Jepang terendah dalam berbagai aspek "flourishing".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun