Saat masih menjadi mahasiswa ilmu politik, saya dituntut untuk menulis banyak sekali karya ilmiah, mulai dari esai, artikel jurnal, makalah, book chapter, hingga policy brief. Tugas-tugas seperti ini memungkinkan para dosen untuk mengevaluasi kemampuan kami dalam berpikir kritis dan berargumen, juga memberikan kesempatan kepada kami untuk merefleksikan isu-isu politik secara serius.
Namun, banyaknya tugas tersebut tidak serta-merta membuat kami (ya, saya juga termasuk di dalamnya) mahir dalam menulis. Maksud "kami" di sini tidak terbatas pada angkatan saya di kampus saya, tetapi juga angkatan terdahulu (dan mungkin angkatan yang akan datang) di kampus-kampus lain.
Sebelum mencari tahu mengapa, saya jelaskan dulu indikasinya.
Pertama, setidaknya untuk skripsi atau bentuk tugas akhir lainnya seperti artikel jurnal dan capstone project, topik yang diambil sangat terkonsentrasi pada tema-tema elektoral. Yang paling sering saya temukan adalah membahas strategi pemenangan seorang kandidat atau sebuah partai politik, metode rekrutmen dan kaderisasi anggota partai politik, dan praktik money politics.
Saya tidak mengklaim bahwa topik-topik tersebut tidak penting. Sebaliknya, selain signifikan untuk perkembangan demokrasi Indonesia yang masih muda, saya sangat mengagumi hasil penelitian rekan-rekan saya di bidang ini.
Keluhan saya adalah begitu banyaknya mahasiswa (dan mungkin dosen juga) yang memilih tema elektoral karena menganggapnya "mudah dan banyak referensi". Dengan kata lain, mereka mengambil topik-topik tersebut bukan karena penting dan mendesak untuk diteliti, tetapi karena tidak mau susah berpikir.
Beberapa dari teman saya bahkan mengambil tema elektoral karena mereka memiliki "orang dalam" di partai atau institusi politik tertentu, yang dirasa akan memudahkan pengumpulan data. Memang, apalagi di level sarjana, kemudahan dapat menjadi salah satu pertimbangan. Namun, jika hal itu tidak disertai dengan urgensi dan signifikansi masalah, mengapa repot-repot melakukannya (selain untuk lulus semata).
Setiap kali saya memberitahu bahwa skripsi saya membahas bagaimana tatanan neoliberal membuat banyak orang kesepian hari ini, satu-satunya pertayaan yang hampir selalu diajukan adalah, "Dari mana referensinya?" Jadi, bukannya menanyakan mengapa topik ini penting, mereka lebih mengkhawatirkan bagaimana jika saya kekurangan referensi!
(Kenyataannya, saya punya banyak sekali referensi.)
Selain topik yang terkonsentrasi pada satu tema, saya juga menemukan banyak kesalahan teknis dan tata bahasa yang mungkin dianggap "minor dan wajar", tetapi sebenarnya sangat mengganggu dan tidak ditoleransi dalam karya akademik, misalnya tidak bisa membedakan "di" sebagai kata depan dan imbuhan, typo, istilah asing tidak bercetak miring (italic), cara mengutip yang keliru, dan lain-lain.
Sementara masalah-masalah di atas relatif klasik dan dilakukan juga oleh mahasiswa beberapa dekade lalu, kita menghadapi masalah baru: maraknya penggunaan (lebih tepatnya, penyalahgunaan) kecerdasan buatan (AI), bukan sebagai alat bantu melainkan sebagai alat untuk menghasilkan "karya akademik" itu sendiri sepenuhnya.