Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tidak, Kerja Berlebihan Tidak Membuat Kita Lebih Produktif

26 Februari 2025   10:16 Diperbarui: 26 Februari 2025   11:09 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paradigma "lebih lama lebih baik" sebagian besar hanyalah mitos | Ilustrasi oleh TyliJura via Pixabay

Jika mengacu pada ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, jam kerja seharusnya tidak melebihi 40 jam dalam satu minggu, setara dengan 7 jam/hari untuk 6 hari kerja atau 8 jam/hari untuk 5 hari kerja. Namun, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, lebih dari 40% penduduk yang bekerja memiliki durasi kerja di atas 45 jam dalam satu minggu.

Sebagian dari mereka terpaksa bekerja berlebihan karena tuntutan pekerjaan. Pekerja kantoran dan kuli bangunan, misalnya, dibayar berdasarkan lamanya bekerja. Dalam pekerjaan-pekerjaan seperti itu, meskipun tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka capai, waktu merupakan metrik paling sederhana untuk mengukur seberapa produktifnya pegawai.

Lagi pula, bahkan jika seseorang yang bekerja sepanjang malam kurang produktif dibandingkan dengan pekerja yang beristirahat cukup, masih lebih murah membayar satu orang untuk bekerja 100 jam seminggu daripada dua orang yang masing-masing bekerja 50 jam seminggu.

Bagi beberapa yang lain, upah rendah memaksa mereka untuk bekerja lebih lama, sering kali dengan merangkap beberapa pekerjaan sekaligus demi memenuhi kebutuhan dan standar hidup yang memadai. Tidak jarang mereka menyamar sebagai pekerja keras, yang bersemangat di Senin pagi, sebagai bentuk mekanisme pertahanan.

Yang paling menarik adalah banyaknya (bisa jadi lebih banyak) orang yang telah mapan tetapi masih bekerja terlalu lama, bahkan saat mereka tidak perlu melakukannya. Bagi mereka, kerja berlebihan bukanlah masalah penghargaan, hukuman, atau kewajiban, melainkan nilai sosialnya tinggi.

Jam kerja yang panjang diidentikkan begitu saja dengan dedikasi, kesuksesan, dan kebajikan moral. Hari ini, jika seorang teman mengklaim bahwa dia terlalu sibuk untuk mengobrol dengan Anda, dia sebenarnya sedang mengirim sinyal kepada Anda bahwa dia bukan hanya seorang homme srieux, tetapi juga seorang yang penting.

Berabad-abad lalu, para pria suka berduel dan luka dari duel itu menjadi lencana kehormatan. Di generasi kita, lencana kehormatan tersebut berubah menjadi kekayaan atau unggahan Instagram yang memberi kesan bahwa kita memiliki kehidupan yang diimpi-impikan dengan pekerjaan idaman.

"Luka" yang kita tunjukkan adalah wajah pucat dan mata sayu.

Budaya "candu kerja" ini sangat dipuja-puja terutama karena di-endorse langsung oleh sejumlah orang terkaya di dunia. Elon Musk, yang akan mendapatkan kompensasi saham hingga $50 miliar jika perusahaannya (Tesla) mencapai target kerja, pernah mencuit sebagai berikut: "There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week."

Dia melanjutkan bahwa jumlah jam kerja yang tepat "bervariasi untuk setiap orang", tetapi orang-orang yang mengubah dunia bekerja sekitar 80 jam secara berkelanjutan, dan terkadang mencapai puncaknya sekitar 100 jam seminggu. "Tingkat rasa sakit meningkat secara eksponensial di atas 80," tulisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun