Dengan kata lain, bertahan melawan ancaman sosial yang ada tak terlalu bergantung pada kepercayaan warga negara terhadap pemimpin, melainkan kapasitas warga negara yang demokratis untuk menghukum para pemimpin yang gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Media sosial, ruang publik baru?
"Digital itu politis," kata Jamie Susskind dalam bukunya Future Politics (2018). Menurutnya, perdebatan utama saat ini bukan lagi tentang seberapa banyak kehidupan kolektif kita yang harus ditentukan oleh negara dan kekuatan pasar.
Pertanyaan yang kini harus kita hadapi adalah seberapa besar kehidupan kolektif kita yang harus diarahkan dan dikendalikan oleh sistem digital. Dalam konteks ini, sistem digital telah dimanfaatkan pemerintah untuk mengontrol dan melayani warga negara.
Sebaliknya, sistem digital juga dapat digunakan oleh warga negara untuk mengawasi serta menekan pemerintah. Kasus Bima tak terkecuali, bahkan sampai-sampai muncul tagar "Bima Effect" sebagai tanda betapa kuatnya aktivisme digital semacam itu.
Namun, ada keraguan bahwa dunia digital, terutama media sosial, bisa menjadi ruang publik baru. Eitan Hersh (2020), misalnya, memiliki istilah "political hobbyism": situasi ketika kita berpolitik hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional kita sendiri.
Dengan memperlakukan politik seolah-olah sebagai permainan, seseorang merasa perlu untuk memberikan pendapat tentang setiap gejolak politik harian, dengan emosi dan berdebat dan berkicau di media sosial. Ini membuat aktivisme digital jadi dangkal.
Namun, saya berpendapat bahwa itu hanyalah satu dari dua sisi sebuah koin. Ini berarti, media sosial bisa melukai demokrasi -- misalnya dengan mengubur isu-isu penting lewat berita-berita skandal selebriti -- atau justru menyehatkan buat demokrasi kita.
Mulai dari kontroversi regulasi pencairan Jaminan Hari Tua dan perkara Mario Dandy yang berakhir jadi kasus kelembagaan, sampai kasus internasional seperti Revolusi Iran yang dibantu Twitter, media sosial bisa menjadi sarana untuk mendorong perubahan sosial-politik.
Bagaimanapun, media sosial hanyalah alat. Kitalah yang menentukan hasilnya.
Semua contoh itu berhasil karena satu hal penting: para partisipan tak hanya memanfaatkan media sosial untuk membingkai dan memobilisasi opini publik, tapi pada dasarnya mereka memang sudah berkomitmen untuk menekan rezim dan mengadakan perubahan.
Penutup
Dalam bukunya Political Hypocrisy (2018), David Runciman berpendapat bahwa kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik. Bentuk kemunafikan politik yang paling bahaya adalah mengklaim bahwa kita memiliki politik tanpa kemunafikan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!