Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Semesta Mungilku

3 November 2021   19:07 Diperbarui: 3 November 2021   19:35 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika aku mencintaimu, apa urusanmu? | Ilustrasi oleh Chulmin Park via Pixabay

Aku suka hujan di kala sore. Di dalamnya terkandung ingatan masa lalu tentang seorang gadis bermata kelinci yang pernah meninggalkanku sendirian di taman kota.

Saat itu langit tengah mendung, dan aku mengucapkan sesuatu yang amat serius padanya tanpa kurencanakan sedikit pun.

Aku hanya berpikir bahwa momen itulah yang kutunggu-tunggu, tetapi dugaanku (sekali lagi) keliru hingga akhirnya tubuhku membeku total oleh dinginnya kelabu sore.

Aku merasa telah dianugerahi sihir yang membuatku bisa merasakan detak jantungnya yang tidak karuan, pun karenanya aku memaklumi kekosongan kata-kata darinya seperti tertutup oleh semacam mantra yang melumpuhkan mulutnya.

Sejenak dia menatapku dengan kemurungan yang membuatku bergidik, tapi aku tidak memerhatikan apa pun selain kedalaman matanya yang berlinang basah, dan itu cukup untuk menjelaskan semuanya.

Kemudian dia berlari menuju jalan utama seraya menutupi wajah dengan kedua tangannya, bahkan aku nyaris tidak tahu bagaimana dia bisa melihat sekitarnya dengan cara seperti itu.

Dia menghilang dari pandanganku oleh kabut yang dibawa gerimis, dan aku masih tidak tahu apa yang mesti kulakukan saat itu.

Kini hujan yang serupa kembali mengingatkanku tentang betapa menyakitkannya semua itu. Dia benar-benar pergi; maksudku kami tidak pernah bertemu lagi semenjak peristiwa (atau lebih tepatnya "tragedi") itu.

Aku ingat ketika dia tersenyum dan menggodaku, aku merasakan betapa bintang-bintang mengelilingiku dengan kehangatan yang tidak kutemukan di sudut dunia mana pun.

Kadang-kadang aku memohon pada Tuhan untuk bisa merasakannya sekali lagi, tapi aku tidak pernah mampu mengucapkannya secara harfiah karena aku terlalu malu terhadap-Nya. Apakah aku layak mendapatkan sesuatu yang kuinginkan?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Kutulis catatan kecil ini untukmu, dan aku bertanya, "Apa artinya menjadi manusia ketika kau tidak bisa mengingat perasaan apa pun yang pernah membakar jiwamu dengan penuh gairah?"

Suatu hari kau bertanya padaku tentang manakah yang lebih penting bagiku: hidupku atau hidupmu? Aku berkata, "Hidupku," lalu kau pergi merajuk seperti seorang anak yang tidak mendapatkan permennya.

Tanpa kau tahu, engkaulah sejatinya hidupku itu. Engkaulah satu-satunya semesta mungilku dalam keabsurdan dunia ini.

Suatu waktu juga aku pernah berpikir sembari berbaring di bawah hujan bintang pada malam yang gemilang bahwa pada titik tertentu, aku akan kehilanganmu. Hanya saja aku tidak menduga akan secepat ini, dan tidak ada yang bisa kuharapkan lagi dari semuanya.

Mungkin kau tengah berada dalam rangkulan pria lain yang lebih mampu mengasihimu dengan pantas. Namun sebenarnya bukan hal itu yang membuatku benci; aku hanya jengkel pada diriku sendiri yang tidak becus mencintai seseorang.

Aku kehilangan nilai-nilai yang membuatku "mati rasa" terhadap segala sesuatu. Aku tidak lagi tahu apa itu cinta dan benci, tawa dan tangis, bahagia dan nestapa. Apa yang tersisa hanyalah perasaan "terbiasa", dan itu membuatku lesu sepanjang waktu seperti mayat hidup.

Ke mana sekarang Bumi akan berputar, Semesta Mungilku? Apa pun jawabanmu, aku mengikutimu.

Kadang kala aku membayangkan bahwa suatu hari, kita akan bertemu kembali dan bercakap-cakap seperti teman lama yang saling merindukan. Kemudian pada suatu malam tanpa rembulan, kau mengatakan sesuatu yang berharga tentang betapa kau mencintaiku.

Apa yang dapat kaulakukan jika jawabanku adalah "tidak"? Akankah kau membeku sebagaimana aku melakukannya ketika "tragedi" itu terjadi?

Semesta Mungilku, adalah mungkin bahwa dunia berjalan menuju pembalikan yang tidak pernah sedikit pun kaupikirkan. Detik ini aku mencintaimu dan mengharapkanmu, tetapi hari esok ... bukanlah milikku.

Aku juga membayangkan bahwa suatu hari nanti, kau akan melihatku tengah berada di spektrum kebahagiaan yang orang-orang bilang sebagai "puncak kehidupan".

Dan entah bersama siapa kau nanti, kau hanya akan tersadar bahwa orang yang kau kagumi itu adalah orang yang juga pernah mencintaimu di suatu waktu. Kau tidak memedulikanku karena kala itu, aku hanyalah pecundang yang mengemis cinta padamu.

Kemudian kau mengingat semua momen bersamaku, tapi toh kau juga ingat bahwa aku pernah menjadikan namamu (lebih tepatnya sosok dirimu) sebagai tokoh utama dalam novel pertamaku.

Apa yang akan kau lakukan bila semua itu benar-benar terjadi? Ah, bagaimana jika begitu? Barangkali kau bertanya balik tentang apa yang akan kulakukan andai demikian. Jawabanku: entah, karena mungkin kala itu, aku tidak mengingat masa laluku.

Kini aku kedinginan sendirian dalam alunan hujan yang bising. Hujan belum juga reda, padahal aku amat menunggu munculnya pelangi dan menemukan sesuatu yang berharga di balik keindahannya.

Tetapi pernahkah kau melihat pelangi malam? Ia melingkar dalam rangkulan rembulan seperti cincin Saturnus yang berkilauan di tengah kepekatan.

Ketujuh warnanya pudar oleh keindahan Dewi Malam, lantas aku berpikir, "Begitulah duniaku ketika Semesta Mungilku mengorbitku."

Aku pikir hidup yang baik bukanlah penolakan (mutlak) atas apa pun yang menjadi kengerian kosmos, justru kehidupan yang indah adalah ketika kau menerima semua keabsurdan itu dan merayakannya bersama kedinginan malam tanpa Sirius.

Keheningan, kesendirian, kenestapaan, kejengkelan; semua itu merangkai makna kehidupan seperti butiran kecil mutiara yang beruntai pada seutas benang. 

Kemudian ketika masanya kita pergi, kita akan ingat bahwa suatu waktu, seluruh dunia pernah melingkari leher kita.

Kusadari bahwa apa pun yang kumiliki dan kudapatkan tidak akan pernah membuatku merasa puas sama sekali. Maka aku hanya akan hidup; membiarkan apa yang ada sebagaimana adanya, dan aku ingin menjadi seseorang yang selalu mengatakan Yea-sayer!

Meskipun belakangan orang-orang berteriak padaku tentang betapa payahnya aku, kukatakan pada mereka untuk berteriak sekali lagi dengan lebih kencang karena aku masih tidak tahu apa pentingnya semua itu untukku.

Semesta Mungilku, aku merasakan rindu yang tidak tertahankan terhadap sesuatu yang sejatinya merupakan bagian dari diriku. Bagaimana denganmu? Aku hanya merindukanmu. Dan jika aku mencintaimu, apa urusanmu?

Bukankah aneh bahwa kau merasakan rindu terhadap seseorang yang berhenti memedulikanmu? Terkadang aku begitu jengkel dengan semua itu, tapi secara bersamaan, aku punya ketenangan yang tidak terusikkan jauh dalam lumbung hatiku.

Suatu hari nanti, kita akan membicarakan semuanya. Kau berada dalam rengkuhanku, dan kau berkata dengan lembut, "Aku kedinginan. Tolong jangan pergi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun