Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Menggali Makna Indah dari Idul Adha dan Pelurusan Paradigma Terhadapnya

19 Juli 2021   09:55 Diperbarui: 10 Juli 2022   07:10 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idul Adha lebih dari sekadar tradisi dan menyimpan segudang visi moralitas di baliknya | Ilustrasi oleh Mabel Amber via Pixabay

"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an.

Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan dengan demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah ayat 111)

Amat menarik bahwa Allah memposisikan Diri sebagai "pembeli". Bukankah Allah adalah pemilik alam semesta? Mengapa Allah harus membeli ketika Dia tidak membutuhkan apa pun? Pada konteks ini, "membeli" berarti "bersedia membayar".

Bayangkan Anda memiliki sebuah istana nan megah dan seorang anak kecil datang mengemis ingin bermain-main di istana Anda. Jika Anda punya kerendahan hati yang mendalam, tentu Anda akan bersedia menerima kehadirannya.

Tetapi jika Anda membiarkan anak tersebut masuk secara bebas, maka kesan istana Anda tersebut tidak akan lagi berharga sebab setiap orang dapat masuk secara bebas. Nilainya tidak berbeda dengan bangunan tua yang hampir runtuh.

Agar pesona istana Anda tidak hilang, Anda bisa menjual karcis yang sangat mahal kepada mereka yang ingin masuk. Kendati demikian, kerendahan hati Allah tidak bisa terlukiskan oleh kita yang serba terbatas.

Allah membiarkan siapa pun yang ingin masuk ke dalam "istana-Nya" dengan syarat pengunjung mesti mengorbankan sesuatu yang dimilikinya, entah itu jiwa atau harta. Pengorbanan yang dimaksud juga harus berada di jalan kebenaran.

Bukan berarti Allah membutuhkan sesuatu, tapi istana tersebut amatlah berharga sehingga tidak setiap orang bisa masuk secara bebas. Dan kemuliaan-Nya tidak berhenti di situ. Allah datang sebagai "pembeli" seakan-akan kita sebagai pedagang yang memiliki sesuatu untuk dijual.

Jika sudah mendapatkan tawaran seperti ini, masihkah kita ragu?

Dalam ayat tersebut, mereka yang "menjual" jiwa maupun harta mereka untuk berjuang di jalan Allah disimbolkan sedang berperang sehingga membunuh atau terbunuh, adalah tidak berbeda dengan kemuliaan yang didapatnya.

Kita tidak bisa menafsirkan ayat tersebut secara "kasar". Jika kita melakukannya, kita akan terperosok ke dalam jurang ketidaktahuan seperti yang terjadi kepada para teroris yang mengatasnamakan jihad (berjuang di jalan Allah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun