Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Paradoks Kreativitas dan Kebebasan

16 Juli 2021   08:06 Diperbarui: 16 Juli 2021   08:12 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah kebebasan berbanding lurus dengan kreativitas? | Ilustrasi oleh Rudy dan Peter Skitterians via Pixabay

Mayoritas orang mengaitkan kreativitas dengan kemampuan mengenalkan ide-ide baru seakan-akan bermula dari ketiadaan menjadi ada. Konsep semacam itu telah berabad-abad dikenalkan oleh bangsa Barat, dan kita turut terpengaruh olehnya.

Berbeda dengan bangsa Timur (utamanya Tiongkok). Bagi mereka, kreativitas tidak dijabarkan oleh lompatan-lompatan mendadak, tapi lebih seperti kemajuan yang bertahap dan stabil. Semua inovasi bersifat evolusioner.

Mungkin itulah yang membuat lahirnya sebuah adagium: segala hal dibuat di China, tapi mereka tidak menciptakannya.

Apa yang saya yakini justru lebih condong ke tradisi Timur. Mengapa selama ini bangsa Barat dianggap lebih kreatif? Mereka melakukan pemasaran yang dilebih-lebihkan. Di Barat, mereka terlatih untuk membuat perubahan paling kecil, sekalipun tampak revolusioner.

Produsen mobil dan elektronik (seperti ponsel) rutin meluncurkan model baru dan lebih baik, yang acapkali, tidak demikian. Mereka tahu itu. Kita tahu itu. Mereka hanya membuat perubahan kecil (atau tidak sama sekali) yang kemudian diklaim sebagai kebaruan.

Dan menariknya, kita semua ikut bermain, bersekongkol dalam menyebarluaskan sandiwara tersebut.

Apakah itu membuktikan Barat tidak kreatif? Bagi saya, bukan pertanyaan itu yang penting, tapi kenyataan tadilah yang mencengangkan bahwa ternyata Barat, dalam hal praksis kreativitas, "lebih Timur" daripada Timur itu sendiri.

Ini menciptakan paradigma segar terkait kreativitas di kalangan orang awam yang sebelumnya dipandang "menciptakan" ternyata tidak jauh dari "menyempurnakan". Dalam pernyataan ekstrem, bisa dikatakan: kreatif adalah gagasan yang tidak mencantumkan sumber (?)

Kreativitas dan Kebebasan

Selama ini kita percaya bahwa kebebasan merupakan syarat utama bagi orang-orang kreatif. Kita diberitahu bahwa cara terbaik untuk mendorong kreativitas adalah dengan menyingkirkan semua rintangan dan melarang apa pun yang bisa menghambat sang kreator.

Menurut saya, itu menimbulkan sebuah paradoks.

Bayangkan pada suatu siang yang terik, Anda pergi untuk bermain tenis tanpa net. Teknik macam apa yang bisa Anda tunjukkan kepada saya jika net itu tidak ada? Lagi pula, di seberang lapangan tidak ada siapa pun; Anda sama sekali tidak punya lawan.

Anda benar-benar bebas dari hambatan net atau perlawanan seorang musuh! Kelihaian macam apa yang akan Anda persembahkan untuk saya?

Itulah paradoks dari kreativitas dan kebebasan: semakin mutlak kebebasan yang kita dapatkan, semakin tertekan kreativitas kita. Tanpa batasan, kita tersesat. Itu sebabnya, orang kreatif sejati mendambakan kekangan dan, jika tidak ada, dia membuatnya sendiri.

Jika kita menilik lebih mendalam terkait kota-kota yang banyak ditinggali oleh orang-orang genius dan kreatif sepanjang sejarah, mereka tidak berada di surga.

Sebut saja Athena yang hanya merupakan kota kecil, tidak subur, dan dipenuhi batu. Warganya gemar minum anggur serta perdebatan di antara mereka merupakan suatu pemandangan yang wajar.

Dan yang lebih penting lagi bahwa secara pertahanan, mereka terancam oleh bangsa Persia, sedangkan secara kebudayaan, mereka tertinggal oleh bangsa Mesir.

Tapi seperti yang kita tahu, Athena Kuno menjadi salah satu kota paling berpengaruh di dunia karena banyak melahirkan orang-orang genius dalam sejarah: Phytagoras, Socrates, Plato, Aristoteles.

Mengapa warga Athena banyak memberi inovasi pada dunia? Apakah itu semacam kebetulan yang mengerikan? Mengapa harus Athena, padahal ada banyak negara-kota yang lebih maju dari Athena di Yunani Kuno?

Hal serupa juga terjadi pada kota berpengaruh lainnya: Hangzhou (China), Florence (Italia), Edinburgh (Skotlandia), Kolkata (India), Wina (Austria). Pada masa keemasannya, tempat-tempat itu sangat jauh dari gelar "surganya dunia".

Mereka telah membantu melukai salah satu mitos kreativitas terbesar: bahwa kekangan harus dihindari. Mereka seolah-olah ingin menyampaikan pesan penting bahwa kita mungkin malah merusak kreativitas jika membuat keadaan terlalu mudah atau terlalu nyaman.

Contoh yang bagus untuk mendukung hal ini adalah "kutukan minyak", atau dikenal juga sebagai paradoks kelimpahan. Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak, cenderung stagnan dalam hal budaya maupun intelektual.

Bisa kita lihat Arab Saudi atau Kuwait. Penduduk kedua negara ini memiliki segalanya sehingga mereka terkesan tidak perlu menciptakan apa pun.

Karenanya kebebasan mutlak, secara harfiah, malah memburamkan kreativitas kita.

Itulah masalah dari surga: di sana hanya ada kesempurnaan yang membuat kita tidak membutuhkan apa-apa lagi. Di surga, kreativitas mati. Dan (beruntungnya) dunia ini tidak sama dengan surga. Setidaknya sebagian besarnya.

Mungkin sekarang Anda bertanya: apakah itu berarti kita tidak perlu kebebasan untuk menjadi kreatif?

Saya sendiri tidak bermaksud untuk mengutuk kebebasan dalam berkreasi. Apa yang saya maksudkan adalah, kita membutuhkan keseimbangan antara kebebasan dan rintangan. Tanpa kebebasan, kita tidak berdaya. Tanpa rintangan, kita tidak tahu apa-apa.

Terlalu banyak kebebasan, tidak ada inspirasi. Terlalu banyak rintangan, kita menderita. Seimbang!

Kebebasan yang dimaksud mencakup kebebasan berpikir dan bertindak. Sedangkan rintangan yang dimaksud adalah suatu rangsangan yang menjadi objek dari kreativitas kita.

Bayangkan bahwa pada suatu hari, Anda hendak pergi ke luar kota. Perjalanan lancar dan berjalan seperti biasanya. Tetapi bagaimana kalau ternyata Anda tidak diperbolehkan membawa koper ke dalam bus?

Disadari ataupun tidak, hambatan tersebutlah yang akan memicu Anda untuk menjadi kreatif. Mungkin Anda menyelipkan barang-barang Anda dalam kantong plastik hitam, atau menggunakan mode transportasi lain yang lebih masuk akal. Setidaknya itu kreativitas yang sederhana.

Masalah dari kebebasan mutlak adalah, di sana tidak ada apa-apa sehingga kita tidak perlu memikirkan apa pun tentangnya. Sedangkan rintangan adalah sumber inspirasi.

Tetapi bagaimana caranya menjadikan rintangan sebagai pemicu kreativitas? Kita tahu bahwa tidak semua orang mampu mengembangkan kreativitasnya hanya dengan diuji lewat beberapa rintangan. Kebanyakan yang terjadi, mereka malah menderita tak karuan.

Kunci yang membedakan antara orang kreatif (plus genius) dengan orang-orang biasa adalah ... kesenangan mereka dalam bertanya. Ketika banyak hambatan menimpanya, orang kreatif tidak sekadar merasakan penderitaan, tapi mereka juga merasa tertantang olehnya.

Biasanya kita memikirkan kreativitas hanya dalam konteks pemecahan masalah. Kita diberikan perkara yang sulit, lalu kita kerahkan "keahlian kreatif" kita untuk memecahkan masalah tersebut.

Itu mengagumkan, tapi bagaimana kalau kita tidak tahu masalah apa yang berusaha kita pecahkan?

Orang-orang kreatif akan melakukan "pencarian masalah". 

Pemecah masalah menjawab pertanyaan, sedangkan pencari masalah menemukan pertanyaan-pertanyaan baru dan menjawabnya. Pertanyaan baru inilah, dan bukan jawabannya, yang membedakan kreativitas.

Dalam kata-kata Socrates, "Teruslah bertanya. Jalan menuju kebijaksanaan disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang bagus." Ah, iya, tentu.  Jika Anda melakukan penelitian ilmiah apa pun, seluruh rangkaian tersebut selalu diawali dengan rumusan masalah atau kumpulan pertanyaan.

Itu karena pertanyaan merupakan fondasi mentah dari kreativitas. Pablo Picasso pernah bercanda, "Komputer itu bodoh. Mereka hanya memberi kita jawaban."

Barangkali contoh pencari masalah terbaik adalah Charles Darwin. Dia ilmuwan hebat. Dan nyaris mandiri. Dia terinspirasi dari beberapa ilmuwan sebelumnya dan mulai mempertanyakan sesuatu yang tidak tertulis di dalam buku-buku yang dibacanya.

Tidak ada orang yang mendatanginya dan berkata, "Charles, tolong ciptakan teori evolusi!" Dia menemukan masalah tersebut, yaitu masalah kesamaan yang tak terjelaskan antara spesies-spesies berbeda, lalu memecahkannya dengan teori yang mempersatukan.

Leonardo da Vinci juga seorang pencari masalah. Pun masalah menemukannya. 

Dia adalah "anak tidak sah" yang terlahir dari seorang notaris bernama Ser Piero. Sepanjang hidupnya, dia suka sekali mempertanyakan sesuatu, bahkan hal-hal remeh, dan menjawabnya dalam buku catatannya yang tercecer.

Persoalan yang kita temukan sendiri dapat menjadi hal yang paling memotivasi kita.

Nah, konsekuensi dari bertanya adalah, kita dihadapkan pada ketidakpastian. Sedangkan ketidakpastian, seperti yang kita tahu, menjadi hal paling menakutkan dan dihindari oleh banyak orang.

Itulah mengapa orang-orang jarang bertanya. Bahkan ketika hati kecil mereka bertanya-tanya, mereka membungkamnya seakan-akan pertanyaan tersebut sudah terjawab tanpa jawaban. Padahal tidak ada yang salah dengan bertanya. Dan betapa dekatnya ketidakpastian dengan kita.

Kita harus bersedia hidup dengan kadar ketidakpastian tertentu. Picasso pernah ditanya apakah dia tahu seperti apa hasil akhir sebuah lukisan saat dia memulainya, dan dia menjawab, "Tidak, tentu saja tidak. Kalau sudah tahu, aku tak akan repot-repot melukisnya."

Orang kreatif memiliki toleransi yang amat tinggi terhadap ambiguitas. Bahkan mereka bukan sekadar menerimanya, tapi juga merayakannya. Bagi mereka, ketidakpastian adalah kesempatan baru untuk menikmati kehidupan.

Konsekuensi lain dari bertanya adalah bahwa kita dituntut untuk menyadari ketidaktahuan kita. Kedengarannya seperti sepele dan mudah, tapi cukup mengejutkan karena kita lebih senang mengakui pengetahuan kita daripada ketidaktahuan kita.

Banyak orang yang berbangga-bangga dengan sekelumit pengetahuannya hingga membutakan mereka terhadap kebodohan mereka sendiri. Sombong dalam pengetahuan itu jauh lebih mudah daripada sombong dalam kekayaan.

Seseorang yang paling miskin di dunia pun masih punya kesempatan untuk bersombong dalam pengetahuan. Kepura-puraan ini sulit dideteksi karena melibatkan sesuatu di luar fisik.

Itulah masalah terbesar dari bertanya: kita tidak begitu pandai dalam mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Bahkan ketika kita menemukannya dan berusaha fokus untuk menjawab, kita masih harus bertanya, "Apa yang mesti diabaikan?"

Proses pemecahan masalah bisa terkesan lebih menakutkan. Dalam pencarian jawaban yang akurat, kita ditantang oleh banyak kegagalan yang hanya ingin menguji kita tentang seberapa jauhnya kita berusaha dan bersungguh-sungguh.

Akan ada banyak trial and error. Dan itu tidak apa-apa. Sangat bagus!

Selama ini kita berasumsi bahwa para genius di dunia punya sentuhan ajaib dalam melahirkan karya-karya. Tidak, justru mereka punya lebih banyak kegagalan ketimbang orang-orang biasa.

Era yang kita anggap sebagai puncak kreativitas umat manusia, seperti filsafat Yunani Kuno atau Renaisans di Florence, ternyata juga menghasilkan segunung ide yang buruk dan seni yang buruk.

Itu berlaku bagi banyak orang yang kini dirayakan sebagai genius. Thomas Alva Edison memegang 1.093 hak paten, sebagian besar untuk penemuan yang benar-benar tak berguna. Dari 20.000 karya Pablo Picasso, sebagian besar jauh dari kategori mahakarya.

Sementara di bidang sastra, W.H. Auden berpendapat, "Sepanjang rentang usianya, penyair termahsyur menulis lebih banyak puisi buruk daripada penyair yang kurang terkenal."

Orang-orang kreatif dan berpengalaman lebih suka penjelajahan gagasan. Mereka tidak punya tujuan selain terpacu oleh ide-ide (yang kebanyakan aneh bin nyeleneh). Tetapi kemudian, dari banyak kegagalan itulah, sekelumit di antaranya, adalah mahakarya.

Berbeda dengan orang-orang biasa yang takut dengan kegagalan sehingga mereka berusaha mencapai kesempurnaan dalam sekali coba. Pertanyaan saya: apakah itu mungkin? Apakah kemujuran pemula adalah nyata?

Pada faktanya, kesalahan-kesalahan itulah yang menyempurnakan karya seseorang di waktu kemudian.

Ada alasan sederhana untuk ini. Semakin banyak tembakan yang dilepaskan ke target, semakin besar kemungkinan kita akhirnya akan mengenai sasaran, tapi semakin banyak juga tembakan yang meleset.

Tembakan tepat sasaran itulah yang berakhir di museum-museum dan rak-rak perpustakaan, bukan yang meleset. Sesuatu yang patut disayangkan jika dipikir-pikir.

Saat kita memikirkan tentang hal ini, kita akan malu karena ikut menyuburkan mitos bahwa para jenius langsung berhasil pada percobaan pertama dan bahwa mereka tidak membuat kesalahan, padahal sebenarnya, merekalah yang membuat kesalahan lebih banyak daripada kita.

Kreator menyukai kesalahan. Itu mengungkapkan proses. Yang membedakan orang genius dari orang gagal sebenarnya bukan terletak pada berapa kali dia berhasil, melainkan berapa kali dia memulai dari awal.

Orang genius dan kreatif, seperti sudah kita lihat, tidak memiliki rata-rata pukulan yang lebih tinggi dibandingkan kita; pukulan mereka malah lebih sering meleset, tapi mereka mampu mengingat dengan tepat di mana mereka meleset dan mengapa.

Pada akhirnya, kita tahu bahwa kebebasan mutlak yang selama ini dikaitkan sebagai pendorong kreativitas malah akan menghancurkannya. Diperlukan keseimbangan antara kebebasan dan rintangan, sebab rintangan itu sendirilah yang memicu kita untuk menjadi kreatif.

Manusia adalah makhluk yang amat suka dengan motivasi. Jika mereka tidak terdorong oleh hal apa pun, mereka tidak melakukannya. Dan hanya dengan bertanya, seseorang menciptakan peluangnya sendiri untuk mendaki bukit kreativitas dan kegeniusan.

Lagi pula, jika kreatif diartikan sebagai proses perbaikan, maka yang paling benar adalah ... melakukan kesalahan terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi menyempurnakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun