Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Inilah Mengapa Media Sosial Mengacaukan Kita

13 Februari 2021   17:54 Diperbarui: 16 Februari 2021   15:44 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia menjadi semakin kacau dan saya yakin, media sosial menjadi salah satu yang berpengaruh | Ilustrasi oleh Thomas Ulrich via Pixabay

Padahal, sejak kapan dunia harus menjadi adil?

Meningkatnya rasa haus akan perhatian

Sebenarnya wajar kalau kita butuh diperhatikan, toh manusia memang makhluk sosial. Tapi ini menjadi tidak wajar saat hasrat itu melebihi ambang batas. Dan media sosial menjadi fasilitatornya.

Mungkin tidak pernah separah ini di mana umat manusia menjadi begitu terobsesi terhadap pujian. Saya melihat postingan salah seorang teman di Facebook. Dia mengunggah foto selfie dengan caption, "Lagi jelek nih, soalnya belum mandi."

Saat saya membuka kolom komentar, ada satu komentar yang mendapat like terbanyak mengatakan, "Lah, situ, kan emang jelek!" Aduh mama...

Sebenarnya rasa haus akan pujian ini bisa menjadi luar biasa kalau dilampiaskan dengan berkarya, seperti menemukan mesin-mesin baru, menulis buku, menciptakan lagu, atau menemukan cara agar manusia tidak mati. (Yang terakhir tidak dihitung deh.)

Kehadiran media sosial telah melahirkan sebuah pemujaan baru yaitu pemujaan terhadap like, follower, atau subscriber. Apalagi lingkungan di dunia nyata telah mengaminkan tragedi ini. Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa ada sebuah komunitas di mana syarat untuk bergabungnya adalah mempunyai 10 ribu pengikut Instagram.

Ini menjadi fenomena yang segar di mana ketenaran seseorang juga dinilai untuk bisa dihargai. Orang-orang lebih senang bertanya, "Berapa pengikutmu di Twitter?" daripada bertanya, "Bagaimana kita bisa menghentikan pemanasan global sekarang ini?"

Sial, saya pengguna pasif di media sosial sejak satu tahun belakangan. Mungkin karena itu juga saya kurang dihargai.

Fenomena ini semakin menjadi-jadi karena melalui media sosial, kita menjadi begitu mudah untuk memuji-muji secara berlebihan. Iya dong, kita cukup menekan like, menaruh emoticon, atau menulis komentar dengan jempol kita.

Ini, kan jadi ironi, ya. Sekarang bukan hanya kata dari mulut saja yang pedas; kata-kata yang keluar dari jari pun juga tak kalah pedasnya. Buktinya, ilmu psikologi telah memasukkan nama "Perundungan Siber" ke daftar "kurikulumnya".

Perundungan di media sosial menjadi begitu mudah karena setiap orang bisa menggunakan akun tanpa identitas asli. Saya pernah membaca sebuah postingan, "Ras manusia terlemah adalah mereka yang berani bacot di media sosial tanpa berani memperlihatkan identitas aslinya di profil."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun