Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imajinasi Senja dan Penulis Indie

3 Maret 2023   19:42 Diperbarui: 4 Maret 2023   17:05 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padahal senja sama halnya dengan malam, siang, atau pagi. Kenapa hanya kata "senja" saja yang diartikan sebagai sebuah perpisahan, bukankah subuh merupakan perpisahan dari waktu pagi menuju siang. 

Ya, subuh tidak dianggap sebagai waktu perpisahan karena ia berada di awal hari. Tapi siapa yang tahu kalau hari itu selalu diawali dari jam 00.00? Bukankah ini membutuhkan kesepakatan? 

Lagi pula siapa yang menyepakati 00.00 adalah pentanda awal hari? Bukankah itu hanyalah angka yang menghitung mundur? Bagaimana jika pukul 00.00 diatur saat matahari baru terlihat di sebelah timur atau setelah subuh, dan yang akan terjadi sore atau senja akan muncul pada pukul 12.00 bukan 17.40, sementara biasanya pukul 12.00 kita sebut sebagai siang.

Dengan uraian di atas maka senja bukanlah persoalan waktu, bukan persoalan tafsir arti atau makna. Senja memang fenomena alam, tetapi senja bukanlah sebuah permainan. 

Menafsirkan fenomena alam menjadi uraian kata-kata yang berisi gagasan, belum bisa disebut sebagai sebuah pemikiran. Banyaknya kisah dengan judul "senja" ini justru kebalikannya dari pemikir yunani, mitos ke logos. 

Dengan menafsirkan fenomena alam secara serampangan, membumbuinya dengan cerita-cerita, dengan arti-arti, dengan makna-makna sebetulnya itu semua adalah tindakan untuk menciptakan sebuah mitos. Tidak ada yang mengartikan senja sebagai sesuatu fenomena alam yang penuh pesan.

Senja bukan soal cinta terhadap sesama manusia, kepada Tuhan atau romansa biasa. Selama ini tidak ada penulis yang berhasil menerjemahkan senja dengan sudut pandang yang baru kecuali kemalangan, dan perpisahan. 

Seolah siapapun yang membawa kata-kata senja tidak boleh hanya sekadar ucapan kosong, maka mereka mengarang-ngarang cerita yang entah diambil dari mana, ide, pengalaman batin penulisnya sendiri, ataupun orang lain. Dan pada kenyataannya kebanyakan dari mereka memang ucapan kosong. Yang jelas mereka telah mengubah apa yang disebut rasional menjadi irasional. Dan bisa jadi merupakan pengulangan pemikiran dari penulis sebelum-sebelumnya.

Yang perlu kita ketahui sebagai seorang pembaca dan penulis adalah, bahwa menulis tidak hanya menyampaikan cerita, gagasan, opini, pendapat, argumentasi, dan sejenisnya, akan tetapi, menulis berarti mewariskan buah pemikiran kepada zaman dan peradaban. 

Jadi siapapun Anda, bijaklah dalam membaca, bijaklah dalam menyampaikan isi bacaan kepada orang lain, dan bijaklah dalam menulis dan menentukan kata karena Anda adalah pemegang tonkat estafet kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun