Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imajinasi Senja dan Penulis Indie

3 Maret 2023   19:42 Diperbarui: 4 Maret 2023   17:05 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka malahan bersorak sorai menikmati perbincangan, seolah senja bersama mereka tetapi tidak untuk dinikmati melainkan sebagai imajinasi perjamuan belaka. 

Senja menjadi sebuah pemikiran, karena kemunculannya di langit yang terabaikan. Sehingga keluarlah filosofi yang menganalogikan perbuatan seharusnya seperti jingga di langit itu. 

Bahwa berbuat baik tidak perlu karena ingin dilihat, dan kadang ada kalanya yang indah selalu terabaikan. Tapi tunggu dulu, itu hanyalah sudut pandang orang yang berusaha mengambil makna dari kemunculan fenomena senja. 

Tulisan ini tidak sedang mengarahkan Anda untuk melihat dengan cara itu. Melainkan bagaimana senja dianggap punya nilai keajaiban? Bagaimana senja bisa menjadi analogi pemikiran? Jawabannya tentu saja, karena kita hanya mengenal senja dari atas bumi bukan mendekapnya.

Selama ini "senja" diartikan sebagai sebuah pemandangan indah namun menyakitkan, karena di dalamnya terdapat sebuah perpisahan. Selama ini kata "senja" pada sebuah novel atau cerita lain, diartikan sebagai sebuah garis pertemuan antara siang dengan malam. 

Ada pula penulis yang mengartikan kata "senja" sebagai media melepas kerinduan dengan kekasih yang telah lama meninggalkannya. Yang padahal "senja" sama sekali tidak bermakna apa-apa, ia hanyala fenomena alam yang terus berulang setiap hari, dan kita bisa menjumpainya kembali di hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. 

Biasanya orang akan menganggap sesuatu yang terus berulang sebagai sebuah kewajaran. Tapi untuk hal yang berbau wajar atau tidak wajar, penggunaan kata "senja" yang sudah sangat ramai ini justru memperlihatkan bahwa "senja" bukan lagi hal yang wajar untuk di bahas, karena judul semacam itu sudah sangat biasa. 

Tetapi apakah ada penulis yang menyampaikan atau menganalogikan senja dengan hal yang lebih baik selain cinta, luka, kenangan, dusta, perpisahan, dan semua hal yang menyakitkan itu?

Sama seperti halnya hujan, padahal senja hanyalah sebuah siklus alam yang terjadi secara berkelanjutan dan teratur. Senja tidak meninggalkan apa-apa, selain membedakan waktu antara siang dan malam. 

Upaya untuk menjual cerita dengan kata "senja" yang diartikan secara polos dan tidak berdasar justru memberikan gambaran pada diri kita, bahwa kita rupanya terlalu candu dengan imajinasi keindahan yang sama sekali tidak nampak keindahannya itu.

Dengan menuliskan kata "senja" seolah-olah penulis menjadi superior di hadapan pembacanya. Mereka mengganggap dan menyampaikan arti senja sebagai sesuatu yang ajaib, lain dari pada yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun