Ini bukan tentang makna atau sekadar persepsi biasa. "Senja" kata ini jelas telah menjadi sigmentasi pasar untuk para penikmat cerita. Lingkungan sekitar kita yang jorjoran dalam mengartikan kata "senja" menurut isi kepalanya sendiri, tanpa disadari telah menularkan hasil pemaknaan yang tidak berdasar tentang kata "senja" itu sendiri kepada orang lain.Â
Hingga akhirnya kata ini dianggap spesial, karena ditafsirkan oleh orang-orang yang dianggap mempuni. Mereka mempresuasifkan kata "senja" dan makna-makna yang dibuatnya, seolah-olah kata ini memiliki arit dan kedalaman makna yang sangat menyentuh.
Filosofi senja yang katanya merupakan buah pemikiran selama ini kebanyakan melahirkan gagasan tentang tindakan moral, bagaimana berlaku dan berbuat baik. Sementara tidak ada hubungannya antara keindahan alam di langit dengan tindakkan moral.Â
Semua filosofi tentang keindahan senja selama ini hanya sebuah tafsiran analogi yang terdengar keren. Tidak memposisikan senja sebagai pemantik untuk berpikir, dan memikirkan alam. Senja hanya digunakan sebagai inspirasi, alat, cerminan, gambaran atau apalah itu.
Tafsiran senja selama ini seperti berikut. Ketika kita melihat seorang buruh pabrik atau seorang pekerja kantoran pulang menuju kediamannya, mereka memadati jalan-jalan sambil menggeber gas sepeda motornya atau duduk tenang di kursi penumpang. Sama sekali tidak ada yang menikmati senja dengan memandangannya berlama-lama. Tapi memanfaatkan waktu senja untuk bergegas pulang, menuju ruang peristirahatan.
Ketika kita melihat seseorang pedagang kopi sepeda bekerja, yang kita lihat bukanlah seorang kopi sepeda yang duduk manis melihat senja. Tetapi tukang kopi sepeda yang memanfaatkan kerumunan orang di kala sore menjelang dan merauk rezeki sebanyak-banyaknya.Â
Mereka tidak paham filosofi senja, mereka pula tidak tahu menahu tentang arti apa di balik senja. Mereka terus bekerja sampai lewat senja, dan terus menuju malam sampai dagangan mereka habis terjual atau sampai tubuh mereka begetar menahan lelah.
Atau pada penikmat senja yang kebanyakan anak muda, turun memadati jalan-jalan hingga singgah di kedai kopi. Mereka menikmati senja bukan dengan filosofi atau menatap langit berlama-lama.Â
Apa yang mereka sebut menikmati sore sebenarnya yang mereka rasakan adalah kesenangan akan suasana keramaian. Menikmati waktu berkumpul dengan sesama di kala sore menjelang, menikmati segelas kopi hangat atau dingin, berbincang dengan teman sebaya, atau kawan lama.Â
Tidak ada dari mereka yang benar-benar menikmati senja sebagaimana senja bersinar di atas ubun mereka. Tidak ada yang menikmati senja seperti bunyi filosofinya.
Antara imajinasi dan realis keadaan sore sangat tipis jaraknya. Mereka yang hadir di saat langit mengeluarkan warna senja, mungkin tidak terlalu mengindahkan kehadirannya.Â