Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imajinasi Senja dan Penulis Indie

3 Maret 2023   19:42 Diperbarui: 4 Maret 2023   17:05 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan tentang makna atau sekadar persepsi biasa. "Senja" kata ini jelas telah menjadi sigmentasi pasar untuk para penikmat cerita. Lingkungan sekitar kita yang jorjoran dalam mengartikan kata "senja" menurut isi kepalanya sendiri, tanpa disadari telah menularkan hasil pemaknaan yang tidak berdasar tentang kata "senja" itu sendiri kepada orang lain. 

Hingga akhirnya kata ini dianggap spesial, karena ditafsirkan oleh orang-orang yang dianggap mempuni. Mereka mempresuasifkan kata "senja" dan makna-makna yang dibuatnya, seolah-olah kata ini memiliki arit dan kedalaman makna yang sangat menyentuh.

Filosofi senja yang katanya merupakan buah pemikiran selama ini kebanyakan melahirkan gagasan tentang tindakan moral, bagaimana berlaku dan berbuat baik. Sementara tidak ada hubungannya antara keindahan alam di langit dengan tindakkan moral. 

Semua filosofi tentang keindahan senja selama ini hanya sebuah tafsiran analogi yang terdengar keren. Tidak memposisikan senja sebagai pemantik untuk berpikir, dan memikirkan alam. Senja hanya digunakan sebagai inspirasi, alat, cerminan, gambaran atau apalah itu.

Tafsiran senja selama ini seperti berikut. Ketika kita melihat seorang buruh pabrik atau seorang pekerja kantoran pulang menuju kediamannya, mereka memadati jalan-jalan sambil menggeber gas sepeda motornya atau duduk tenang di kursi penumpang. Sama sekali tidak ada yang menikmati senja dengan memandangannya berlama-lama. Tapi memanfaatkan waktu senja untuk bergegas pulang, menuju ruang peristirahatan.

Ketika kita melihat seseorang pedagang kopi sepeda bekerja, yang kita lihat bukanlah seorang kopi sepeda yang duduk manis melihat senja. Tetapi tukang kopi sepeda yang memanfaatkan kerumunan orang di kala sore menjelang dan merauk rezeki sebanyak-banyaknya. 


Mereka tidak paham filosofi senja, mereka pula tidak tahu menahu tentang arti apa di balik senja. Mereka terus bekerja sampai lewat senja, dan terus menuju malam sampai dagangan mereka habis terjual atau sampai tubuh mereka begetar menahan lelah.

Atau pada penikmat senja yang kebanyakan anak muda, turun memadati jalan-jalan hingga singgah di kedai kopi. Mereka menikmati senja bukan dengan filosofi atau menatap langit berlama-lama. 

Apa yang mereka sebut menikmati sore sebenarnya yang mereka rasakan adalah kesenangan akan suasana keramaian. Menikmati waktu berkumpul dengan sesama di kala sore menjelang, menikmati segelas kopi hangat atau dingin, berbincang dengan teman sebaya, atau kawan lama. 

Tidak ada dari mereka yang benar-benar menikmati senja sebagaimana senja bersinar di atas ubun mereka. Tidak ada yang menikmati senja seperti bunyi filosofinya.

Antara imajinasi dan realis keadaan sore sangat tipis jaraknya. Mereka yang hadir di saat langit mengeluarkan warna senja, mungkin tidak terlalu mengindahkan kehadirannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun