Di tengah kesibukan itu, Rendra dan Nadira semakin dekat.
"Lucu ya, sesuatu yang dulu dipandang jijik, justru menyembuhkan banyak orang," kata Nadira sambil tersenyum.
Rendra tersenyum balik. "Mungkin seperti hidup. Kadang yang kita hindari justru yang paling kita butuhkan."
Hubungan mereka berkembang, tetapi Rendra tak melupakan akar perjuangannya. Ia sering mengunjungi kembali Desa Sukaendah, membawa kabar dan laporan penelitian kepada Mak Ranti.
"Mak, hasil riset kita sudah diterima di jurnal internasional," katanya suatu sore sambil menunjukkan lembar publikasi.
Mak Ranti meneteskan air mata. "Akhirnya, ilmu nenek moyang tidak sia-sia."
Namun, kebahagiaan itu belum lengkap. Suatu hari, Mak Ranti jatuh sakit. Usianya yang renta membuat tubuhnya lemah. Dokter di kota menyarankan perawatan intensif, tetapi Mak Ranti menolak.
"Biarkan aku di sini, Nak. Aku sudah sembuh lebih dulu... bukan di tubuh, tapi di hati."
Rendra menggenggam tangan Mak Ranti sambil menahan air mata.
"Mak, tanpa Mak, penelitian ini tidak akan pernah ada."
Perempuan tua itu tersenyum lembut.
"Lanjutkanlah, Nak. Jangan biarkan ilmu ini mati bersamaku. Jadikan mengkudu bukan hanya obat tubuh, tapi juga obat jiwa manusia yang lupa pada asalnya."
Bagian IV -- Wangi Penawar dan Cinta
Setahun berlalu. Rendra dan Nadira membentuk lembaga riset sosial bernama Pusat Pengembangan Tanaman Herbal Nusantara. Mereka mendirikan cabang pertama di Desa Sukaendah, dengan laboratorium kecil di bekas rumah Mak Ranti yang kini dijaga oleh warga desa.
Proyek Morinda Vitae terus berkembang. Bersama tim medis, mereka menemukan formulasi kapsul ekstrak daun dan buah mengkudu yang aman dan efektif untuk mendukung fungsi hati dan sistem imun. Produk itu didistribusikan secara gratis kepada masyarakat desa sebagai bentuk pengabdian.
Pemerintah akhirnya melirik hasil kerja mereka. Dalam waktu dua tahun, penelitian Rendra menjadi dasar pengembangan farmasi herbal nasional. Ia diundang ke berbagai seminar, tetapi setiap kali berbicara, ia selalu mengutip kalimat sederhana dari Mak Ranti:
"Tanaman mengkudu adalah peringatan agar manusia tidak meremehkan yang tampak hina, sebab di balik baunya tersimpan wangi kehidupan."
Hubungan Rendra dan Nadira semakin dalam. Mereka menikah dalam upacara sederhana di bawah pohon mengkudu besar peninggalan Mak Ranti. Warga desa hadir dengan wajah bahagia. Angin sore berhembus membawa aroma khas buah mengkudu yang jatuh di tanah, menyatu dengan tawa dan doa.
Setelah pernikahan, Rendra berjalan sendirian ke tepi sungai, tempat dulu ia pertama kali belajar meramu bersama Mak Ranti. Ia menatap air yang berkilau terkena cahaya senja.
"Mak, aku sudah melanjutkan semuanya," katanya lirih.
Dalam hembusan angin, seolah terdengar suara lembut,
"Bagus, Nak. Sekarang engkau tahu, ilmu sejati bukan untuk disimpan, melainkan untuk dibagikan."
Epilog -- Rahasia di Balik Senja
Tahun-tahun berlalu. Desa Sukaendah kini berubah menjadi pusat pelatihan tanaman obat nasional. Warga desa tidak lagi menebang pohon mengkudu, melainkan menanamnya di setiap halaman. Anak-anak sekolah belajar mengenali manfaatnya, dari daun hingga buah.