Rahasia Mengkudu di Balik Senja
Karya: Muhalbir
Gambaran Umum Cerita:
Sebuah kisah lintas generasi antara Rendra, seorang peneliti muda dari kota, dan Mak Ranti, seorang tabib tua di desa yang hidup bersahaja namun menyimpan pengetahuan turun-temurun tentang tanaman mengkudu (Morinda citrifolia) --- tumbuhan yang dulu dianggap tak berguna oleh warga, namun sebenarnya menyimpan potensi besar bagi dunia kesehatan.
Dikisahkan, Rendra yang kehilangan ibunya akibat penyakit hati kronis menemukan catatan lama peninggalan sang ibu tentang ramuan alami berbasis buah dan daun mengkudu. Ia memutuskan meneliti ke desa kelahiran ibunya, tempat Mak Ranti tinggal. Di sanalah kisah tentang pengobatan alami, cinta, dan penebusan masa lalu dimulai.
Dengan pendekatan ilmiah dan kasih kemanusiaan, Rendra bersama warga desa mengembangkan laboratorium sederhana yang akhirnya menarik perhatian universitas dan lembaga kesehatan kota. Buah dan daun mengkudu yang dulu diremehkan, akhirnya menjadi sumber harapan baru bagi banyak orang.
Cerita bergerak antara nuansa pedesaan yang hangat dan hiruk-pikuk kota yang modern, berisi konflik batin, percikan romanza, nilai moral, dan penemuan ilmiah yang mengubah nasib banyak orang.
Akhir kisah ditutup dengan kebahagiaan yang lembut namun kuat: Rendra menemukan arti cinta, ilmu, dan warisan hidup yang sejati---bahwa setiap tanaman, sekecil apa pun, menyimpan mukjizat bagi mereka yang mau memahami dengan hati.
Bagian I -- Akar Ingatan
Langit sore di Desa Sukaendah selalu tampak lebih lembut dibanding di tempat lain. Di antara hamparan sawah yang mulai menguning, berdirilah rumah-rumah kayu beratap rumbia yang seolah berpadu dengan alam. Udara di sana berembus dengan aroma tanah basah, bercampur wangi khas buah mengkudu yang matang di pinggir jalan. Sebagian warga mengernyit setiap kali mencium baunya, tetapi bagi sebagian lain, terutama generasi tua, wangi itu menandakan musim baru---musim penyembuhan.
Mak Ranti, perempuan renta berusia tujuh puluh tahun, duduk di beranda rumahnya sambil menumbuk buah mengkudu dalam lumpang batu. Tangannya yang berkeriput masih cekatan, meskipun matanya mulai rabun. Ia menatap lembayung senja sambil berbisik,
"Alam selalu menyimpan rahasia untuk mereka yang sabar," ujarnya lirih.
Di tangan Mak Ranti, mengkudu bukan sekadar buah berbau menyengat. Ia adalah saksi kehidupan, penawar, dan doa. Sejak muda, ia dikenal sebagai tabib desa, meramu daun dan buah mengkudu menjadi obat untuk luka, demam, darah tinggi, dan penyakit hati. Ia tidak pernah belajar di sekolah kedokteran, tetapi pengetahuannya berasal dari warisan neneknya yang dulu dikenal sebagai dukun pengobatan herbal di masa penjajahan.
Namun, di zaman yang mulai berubah, kepercayaan pada ramuan tradisional kian pudar. Warga lebih suka obat dari kota, meski mahal. "Mengkudu itu cuma buah busuk, Mak. Tak ada gunanya," kata beberapa anak muda ketika lewat di depan rumahnya. Mak Ranti hanya tersenyum, mengusap lumpang batu yang penuh sari buah mengkudu.
"Suatu hari, kalian akan tahu," katanya pelan.
Pada waktu yang sama, jauh di kota Makassar, seorang pemuda bernama Rendra Pradipta menatap layar komputernya yang menampilkan hasil laboratorium. Ia bekerja di sebuah lembaga riset biomedis yang terkenal dengan penelitian tanaman obat tropis. Tapi hari itu, wajahnya tampak murung. Di tangannya tergenggam foto ibunya yang baru meninggal dua bulan lalu karena penyakit hati kronis.