Alya menggigit bibir, air matanya jatuh satu per satu.
"Aku janji, Yah."
Beberapa menit kemudian, Rahman pergi dengan tenang. Di halaman rumah, pohon sirsak bergoyang pelan diterpa angin malam, seolah ikut berdoa.
8. Sepeninggal Ayah
Hari-hari tanpa Rahman terasa hampa. Siti jarang bicara. Alya menyibukkan diri dengan menulis skripsi yang kini menjadi dedikasi untuk ayahnya. Judulnya:
"Efek Ekstrak Daun Sirsak terhadap Aktivitas Sel Kanker: Kajian Empiris di Desa Sukamukti."
Ia menulis dengan sepenuh hati, menyertakan catatan harian ayahnya, bahkan suhu air rebusan yang ia ukur dengan termometer sederhana. Semua detail menjadi bagian dari kisah hidupnya sendiri.
Ketika hari wisuda tiba, Alya membawa selembar foto ayahnya di saku jubah toga. Di podium, ia menatap langit-langit aula dan berbisik,
"Ini untukmu, Yah. Untuk daun sirsak di halaman kita."
Siti yang duduk di barisan tamu undangan, menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca.
9. Ilmu yang Menyebar
Setelah lulus, Alya bekerja di sebuah lembaga penelitian tanaman obat di Bandung. Ia mendedikasikan diri untuk meneliti lebih lanjut senyawa acetogenin dan potensi fitokimia daun sirsak. Publikasinya pertama kali diterbitkan di jurnal nasional dan mendapat perhatian luas.
Namun Alya tidak lupa dari mana semua berawal. Ia sering pulang ke desa, membawa bibit sirsak untuk dibagikan kepada warga. Ia mengajarkan cara menanam, merawat, dan mengolahnya menjadi minuman herbal dengan dosis aman.
Setiap kali ia berdiri di depan warga, ia selalu berkata,