Hijau yang Tersisa di Halaman Rumah Kami
Karya: Muhalbir
1. Awal dari Sebuah Musim
Di sebuah desa bernama Sukamukti, di lereng gunung yang sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk kota, tinggal keluarga kecil: Rahman, istrinya Siti, dan anak perempuan mereka Alya. Mereka hidup sederhana, menanam sayur, beternak ayam, dan memelihara kebun kecil di belakang rumah. Di antara pohon pisang dan singkong, tumbuh satu pohon yang paling tua---pohon sirsak, yang ditanam Rahman dua puluh tahun lalu, saat baru menikah dengan Siti.
Rahman selalu berkata pada Alya kecil,
"Kalau ayah tidak ada nanti, daun sirsak ini yang akan menjaga kalian."
Alya yang waktu itu baru berusia delapan tahun hanya tertawa, tidak mengerti maksud ucapan itu. Namun, Siti tersenyum samar. Ia tahu, Rahman sedang menanam harapan pada sesuatu yang tampak sederhana: sebatang pohon di tanah yang ia rawat dengan cinta.
Musim berganti. Pohon sirsak itu makin rindang. Daunnya lebat, buahnya jarang tapi besar, dan aroma asam manisnya memenuhi halaman setiap kali angin sore berhembus dari arah sawah.
Namun kehidupan tidak selalu seindah aroma sirsak yang matang di dahan.
2. Awal Ujian
Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi keluarga itu. Setelah bertahun-tahun bekerja keras di sawah dan menjadi tukang kayu panggilan, Rahman mulai sering mengeluh sakit di perut bagian bawah. Awalnya ia anggap masuk angin biasa, lalu maag. Tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Malam-malamnya diisi keluhan, siang harinya diisi diam dan peluh dingin.
Siti membujuk,
"Kita ke puskesmas, Pak. Jangan ditunda lagi."
Rahman menolak selama berminggu-minggu. Hingga suatu pagi, ia pingsan di depan rumah setelah menimba air. Alya yang waktu itu sudah berusia 19 tahun panik, menjerit memanggil tetangga. Mereka membawanya ke rumah sakit kabupaten.
Hasil pemeriksaan keluar dua hari kemudian. Dokter menatap Siti dengan wajah serius.
"Ibu, Bapak Rahman menderita kanker usus besar stadium tiga."
Dunia seperti berhenti berputar bagi Siti. Kata "kanker" itu seolah menutup semua pintu harapan yang ia punya.
3. Perjuangan di Tengah Keterbatasan
Rahman tidak punya banyak tabungan. Uang hasil panen hanya cukup untuk makan dan sekolah Alya. Biaya pengobatan kanker terlalu besar. Dokter menyarankan kemoterapi, tapi jarak rumah mereka jauh dan biaya transportasi saja sudah berat.
Siti sempat pasrah, tetapi Alya tidak.
Alya yang saat itu sedang kuliah di fakultas biologi di kota kecil dekat desa mereka, mulai mencari tahu tentang pengobatan alternatif alami. Ia membaca jurnal-jurnal sederhana di perpustakaan kampus. Di salah satu artikel ilmiah, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti membaca lama:
"Annona muricata L. --- atau daun sirsak --- mengandung acetogenin, senyawa aktif yang terbukti secara ilmiah memiliki potensi antikanker."
Alya pulang membawa secercah harapan.
"Bu, daun sirsak itu ternyata bukan sekadar daun. Banyak penelitian menunjukkan ekstraknya bisa menghambat pertumbuhan sel kanker. Aku ingin mencoba membuat ramuan untuk Ayah."
Siti memandangi anaknya dengan ragu. "Apa kamu yakin, Nak? Jangan sampai malah membahayakan."
"Aku akan hati-hati, Bu. Aku tidak mau hanya diam."
4. Ramuan dari Halaman Rumah
Hari-hari berikutnya, Alya mulai meneliti sendiri di rumah. Ia mengambil daun sirsak yang masih muda---sekitar sepuluh lembar---mencucinya bersih, lalu menjemurnya sebentar di bawah sinar matahari pagi sebelum merebusnya dalam dua gelas air hingga tersisa satu gelas.
Setiap pagi dan sore, Rahman meminum air rebusan itu dengan pahit di lidah, tapi manis di niat. Alya mencatat semuanya di buku catatannya: tanggal, dosis, waktu, reaksi tubuh ayahnya. Ia memperlakukan rumahnya seperti laboratorium kecil.
Seminggu pertama, tidak ada perubahan berarti. Dua minggu, Rahman mulai bisa tidur lebih nyenyak. Sebulan kemudian, rasa sakit di perutnya mulai berkurang. Ia bahkan bisa kembali ke kebun dan duduk di bawah pohon sirsak sambil memangkas ranting.
Tetangga mulai berdatangan, menanyakan rahasianya. Rahman hanya tersenyum,
"Tuhan menyembuhkan lewat daun yang kita tanam sendiri."
Namun Alya tahu, belum tentu itu penyembuhan sepenuhnya. Ia paham bahwa efek daun sirsak belum sepenuhnya terbukti klinis, dan hanya mendukung terapi medis, bukan menggantikannya. Tapi melihat ayahnya tersenyum lagi, baginya itu cukup.
5. Ilmu dan Keyakinan
Alya makin serius meneliti. Ia menulis makalah kecil untuk dosennya tentang "Potensi Antikanker Senyawa Acetogenin pada Daun Sirsak". Dosen pembimbingnya, Bu Ratna, kagum melihat data pengamatan yang teliti dari seorang mahasiswa desa.
"Alya, kamu bukan hanya punya hati, tapi juga nalar ilmiah yang kuat. Tapi ingat, semua harus diuji. Jangan berhenti di keyakinan tanpa pembuktian."
Kalimat itu menancap dalam di benak Alya. Ia mulai belajar menyeimbangkan antara ilmu dan iman, antara akal dan kasih. Ia tahu, sains bukan untuk menentang Tuhan, tapi untuk mengenali cara-Nya bekerja dalam hal-hal kecil---seperti daun sirsak yang tumbuh di halaman rumah.
Rahman semakin membaik, tapi tetap lemah. Ia kini lebih banyak duduk di serambi, memandangi matahari terbenam, sementara Siti menyiapkan ramuan herbal itu setiap pagi.
"Kalau nanti Ayah tidak sempat melihat kamu lulus, jangan sedih," kata Rahman suatu sore.
"Ayah sudah senang bisa melihat kamu berjuang demi ilmu. Itu lebih berharga dari apa pun."
Alya menahan tangis, menggenggam tangan ayahnya yang kurus.
"Ayah akan lihat aku lulus. Aku janji."
6. Perubahan yang Menggetarkan
Tahun berikutnya, Alya berhasil mempresentasikan penelitiannya di seminar universitas. Ia menyampaikan hasil observasi empiris bahwa daun sirsak dapat membantu memperbaiki kualitas hidup pasien kanker, terutama dalam mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan nafsu makan.
Walau kecil, temuannya diapresiasi karena menyatukan pengalaman pribadi dengan pendekatan ilmiah.
Namun di saat yang sama, tubuh Rahman mulai melemah lagi. Hasil pemeriksaan lanjutan menunjukkan kanker itu menyebar ke hati. Dokter mengatakan hanya keajaiban yang bisa menolong.
Siti menangis semalaman. Alya pulang dengan dada sesak. Tapi Rahman tetap tenang.
"Nak, jangan salahkan daun itu. Ia sudah berbuat yang terbaik. Kadang Tuhan menumbuhkan penyembuhan bukan untuk tubuh, tapi untuk jiwa."
Ucapan itu terdengar seperti perpisahan yang lembut.
7. Detik-Detik Terakhir
Malam itu, langit di Sukamukti kelam tanpa bintang. Angin gunung berhembus dingin. Alya memeluk ayahnya yang terbaring di dipan bambu. Di tangannya, segelas air rebusan daun sirsak terakhir masih hangat.
Rahman tersenyum, menatap Alya dengan mata yang mulai sayu.
"Daun ini... pahit, tapi menyejukkan. Seperti hidup kita. Pahit, tapi penuh makna."
Ia meneguk sedikit, lalu berkata lirih,
"Jaga ibumu, dan teruskan ilmu itu. Jangan biarkan daun ini hanya jadi legenda."
Alya menggigit bibir, air matanya jatuh satu per satu.
"Aku janji, Yah."
Beberapa menit kemudian, Rahman pergi dengan tenang. Di halaman rumah, pohon sirsak bergoyang pelan diterpa angin malam, seolah ikut berdoa.
8. Sepeninggal Ayah
Hari-hari tanpa Rahman terasa hampa. Siti jarang bicara. Alya menyibukkan diri dengan menulis skripsi yang kini menjadi dedikasi untuk ayahnya. Judulnya:
"Efek Ekstrak Daun Sirsak terhadap Aktivitas Sel Kanker: Kajian Empiris di Desa Sukamukti."
Ia menulis dengan sepenuh hati, menyertakan catatan harian ayahnya, bahkan suhu air rebusan yang ia ukur dengan termometer sederhana. Semua detail menjadi bagian dari kisah hidupnya sendiri.
Ketika hari wisuda tiba, Alya membawa selembar foto ayahnya di saku jubah toga. Di podium, ia menatap langit-langit aula dan berbisik,
"Ini untukmu, Yah. Untuk daun sirsak di halaman kita."
Siti yang duduk di barisan tamu undangan, menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca.
9. Ilmu yang Menyebar
Setelah lulus, Alya bekerja di sebuah lembaga penelitian tanaman obat di Bandung. Ia mendedikasikan diri untuk meneliti lebih lanjut senyawa acetogenin dan potensi fitokimia daun sirsak. Publikasinya pertama kali diterbitkan di jurnal nasional dan mendapat perhatian luas.
Namun Alya tidak lupa dari mana semua berawal. Ia sering pulang ke desa, membawa bibit sirsak untuk dibagikan kepada warga. Ia mengajarkan cara menanam, merawat, dan mengolahnya menjadi minuman herbal dengan dosis aman.
Setiap kali ia berdiri di depan warga, ia selalu berkata,
"Yang menyembuhkan bukan hanya daun, tapi cinta dan kesabaran di baliknya."
Desa Sukamukti kini dikenal sebagai Desa Sirsak, tempat masyarakatnya menanam harapan di antara daun hijau yang sederhana.
10. Setahun Kemudian
Satu tahun setelah penelitian Alya diresmikan sebagai proyek pengembangan desa herbal, sebuah kejadian mengharukan terjadi. Pohon sirsak tua di halaman rumah Rahman tumbang karena hujan deras dan angin kencang. Batangnya patah, daunnya berserakan.
Siti menangis lama di bawah rintik hujan. Alya memungut satu daun yang masih utuh, lalu menatapnya lama.
"Bu, Ayah tidak pergi. Ia hanya menumbuhkan diri di tempat lain."
Alya menanam biji sirsak dari buah terakhir pohon itu di tanah yang sama. Musim berikutnya, tunas kecil tumbuh di sana---hijau muda, segar, seperti kehidupan yang baru saja dimulai lagi.
11. Warisan Hijau
Tahun-tahun berlalu. Alya kini menjadi peneliti senior. Banyak orang datang menemuinya, meminta nasihat tentang tanaman obat. Ia selalu mengingatkan,
"Daun sirsak bukan obat ajaib, tapi bukti bahwa Tuhan menyimpan rahmat di segala ciptaan-Nya. Gunakan dengan ilmu, bukan hanya harapan."
Ia menulis buku populer berjudul "Hijau yang Tersisa di Halaman Rumah Kami", kisah nyata yang terinspirasi dari perjuangan ayahnya. Buku itu menjadi bacaan inspiratif di berbagai universitas, mengajarkan harmoni antara sains dan kasih sayang manusia.
12. Epilog: Surat untuk Ayah
Suatu sore, di beranda rumah lamanya, Alya duduk bersama ibunya. Di depannya, pohon sirsak muda kini tumbuh tegak. Ia menulis surat kecil di buku hariannya:
Ayah,
Sudah dua puluh tahun sejak daun sirsak itu pertama kali direbus untukmu. Kini ratusan keluarga meminum ramuan yang sama, tapi aku tahu, tidak ada yang sesuci niat kita dulu.
Aku belajar bahwa sains hanyalah bahasa untuk memahami kasih Tuhan, dan setiap daun adalah ayat yang bisa dibaca dengan hati.
Ayah tidak pernah pergi. Ayah ada di setiap daun yang bergoyang di angin sore ini.
Alya menutup buku itu, memandang jauh ke arah gunung yang diselimuti kabut tipis. Angin membawa aroma sirsak muda, segar, lembut, dan menenangkan.
Ia tersenyum.
"Ayah benar... daun ini memang penjaga kami."
Penutup
Cerita keluarga Rahman bukan tentang mukjizat penyembuhan, tapi tentang ketulusan dan cinta yang tumbuh dari ilmu dan doa. Daun sirsak mungkin tidak menyembuhkan semua penyakit, tapi ia menyembuhkan sesuatu yang lebih dalam---rasa takut, kehilangan, dan putus asa.
Dan di antara helai daun hijau yang bergetar diterpa angin sore, tersimpan pesan sederhana:
bahwa setiap kebaikan yang kita tanam, sekecil apa pun, akan tetap hidup jauh setelah kita tiada.
----------------Selesai---------------
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI