"Yang menyembuhkan bukan hanya daun, tapi cinta dan kesabaran di baliknya."
Desa Sukamukti kini dikenal sebagai Desa Sirsak, tempat masyarakatnya menanam harapan di antara daun hijau yang sederhana.
10. Setahun Kemudian
Satu tahun setelah penelitian Alya diresmikan sebagai proyek pengembangan desa herbal, sebuah kejadian mengharukan terjadi. Pohon sirsak tua di halaman rumah Rahman tumbang karena hujan deras dan angin kencang. Batangnya patah, daunnya berserakan.
Siti menangis lama di bawah rintik hujan. Alya memungut satu daun yang masih utuh, lalu menatapnya lama.
"Bu, Ayah tidak pergi. Ia hanya menumbuhkan diri di tempat lain."
Alya menanam biji sirsak dari buah terakhir pohon itu di tanah yang sama. Musim berikutnya, tunas kecil tumbuh di sana---hijau muda, segar, seperti kehidupan yang baru saja dimulai lagi.
11. Warisan Hijau
Tahun-tahun berlalu. Alya kini menjadi peneliti senior. Banyak orang datang menemuinya, meminta nasihat tentang tanaman obat. Ia selalu mengingatkan,
"Daun sirsak bukan obat ajaib, tapi bukti bahwa Tuhan menyimpan rahmat di segala ciptaan-Nya. Gunakan dengan ilmu, bukan hanya harapan."
Ia menulis buku populer berjudul "Hijau yang Tersisa di Halaman Rumah Kami", kisah nyata yang terinspirasi dari perjuangan ayahnya. Buku itu menjadi bacaan inspiratif di berbagai universitas, mengajarkan harmoni antara sains dan kasih sayang manusia.
12. Epilog: Surat untuk Ayah
Suatu sore, di beranda rumah lamanya, Alya duduk bersama ibunya. Di depannya, pohon sirsak muda kini tumbuh tegak. Ia menulis surat kecil di buku hariannya:
Ayah,
Sudah dua puluh tahun sejak daun sirsak itu pertama kali direbus untukmu. Kini ratusan keluarga meminum ramuan yang sama, tapi aku tahu, tidak ada yang sesuci niat kita dulu.
Aku belajar bahwa sains hanyalah bahasa untuk memahami kasih Tuhan, dan setiap daun adalah ayat yang bisa dibaca dengan hati.
Ayah tidak pernah pergi. Ayah ada di setiap daun yang bergoyang di angin sore ini.