Mohon tunggu...
muhalbirsaggr
muhalbirsaggr Mohon Tunggu... Guru sekaligus Operator/telah menulis Buku Antologi Jejak Pena dan Lukisan Rasa

Saat ini giat Menulis/orangnya pendiam-pekerja keras/konten favorit aku adalah Karya Fiksi/Non Fiksi, Inovasi pendidikan, Puisi serta perjalanan wisata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hijau yang Tersisa di Halaman Rumah Kami

8 Oktober 2025   06:07 Diperbarui: 8 Oktober 2025   06:07 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hijau yang Tersisa di Halaman Rumah Kami
Karya: Muhalbir

1. Awal dari Sebuah Musim
Di sebuah desa bernama Sukamukti, di lereng gunung yang sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk kota, tinggal keluarga kecil: Rahman, istrinya Siti, dan anak perempuan mereka Alya. Mereka hidup sederhana, menanam sayur, beternak ayam, dan memelihara kebun kecil di belakang rumah. Di antara pohon pisang dan singkong, tumbuh satu pohon yang paling tua---pohon sirsak, yang ditanam Rahman dua puluh tahun lalu, saat baru menikah dengan Siti.

Rahman selalu berkata pada Alya kecil,

"Kalau ayah tidak ada nanti, daun sirsak ini yang akan menjaga kalian."

Alya yang waktu itu baru berusia delapan tahun hanya tertawa, tidak mengerti maksud ucapan itu. Namun, Siti tersenyum samar. Ia tahu, Rahman sedang menanam harapan pada sesuatu yang tampak sederhana: sebatang pohon di tanah yang ia rawat dengan cinta.

Musim berganti. Pohon sirsak itu makin rindang. Daunnya lebat, buahnya jarang tapi besar, dan aroma asam manisnya memenuhi halaman setiap kali angin sore berhembus dari arah sawah.

Namun kehidupan tidak selalu seindah aroma sirsak yang matang di dahan.

2. Awal Ujian
Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi keluarga itu. Setelah bertahun-tahun bekerja keras di sawah dan menjadi tukang kayu panggilan, Rahman mulai sering mengeluh sakit di perut bagian bawah. Awalnya ia anggap masuk angin biasa, lalu maag. Tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Malam-malamnya diisi keluhan, siang harinya diisi diam dan peluh dingin.

Siti membujuk,

"Kita ke puskesmas, Pak. Jangan ditunda lagi."

Rahman menolak selama berminggu-minggu. Hingga suatu pagi, ia pingsan di depan rumah setelah menimba air. Alya yang waktu itu sudah berusia 19 tahun panik, menjerit memanggil tetangga. Mereka membawanya ke rumah sakit kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun