Di sebuah kelas yang tak pernah benar-benar sepi, suara tawa dan candaan selalu mengalir. Di tengah keramaian itu, berdiri seorang ketua kelas yang tak pernah kehabisan energi:Â Elvano.
Ia bukan siswa terpintar. Nilainya sering pas-pasan, kadang nyaris remidi. Tapi ia tahu cara menyatukan semua orang. Ia tahu kapan harus bercanda, kapan harus tegas, dan kapan harus jadi tempat bersandar. Elvano adalah poros, meski bukan pusat prestasi.
Di sisi lain, ada Rafa si jenius yang selalu duduk di peringkat satu atau dua. Tenang, cerdas, dan tak pernah bicara lebih dari yang perlu. Fahrezy, sahabatnya, adalah sosok kalem dan rasional. Ia jarang bicara, tapi sekali bicara, semua orang mendengar.
Laura, gadis yang duduk di barisan tengah, adalah salah satu dari sepuluh besar. Pintar, ceria, dan punya senyum yang bisa membuat waktu berhenti. Elvano jatuh cinta padanya sejak hari pertama mereka masuk SMA. Tapi ia tak pernah berani bicara.
Karena ada Bara.
Bara bukan siswa berprestasi. Nilainya sering berada di pertengahan atau bahkan mendekati akhir. Tapi ia punya satu hal yang tak dimiliki siapa pun: kemampuan membuat orang nyaman. Ia tahu cara membuat Laura tertawa, tahu kapan harus hadir, dan tahu bagaimana menjadi penting tanpa terlihat memaksa.
Dan Viona sahabat Laura sejak SMP adalah satu-satunya yang melihat semuanya. Ia sabar, penuh perhatian, dan diam-diam menyimpan semua rahasia yang tak pernah diucapkan.
Suatu hari, saat istirahat, mereka duduk di kantin.
"Van, kamu udah bikin daftar piket?" tanya Laura sambil menyeruput es teh.
Elvano mengangguk. "Udah koo kamu sama Bara minggu depan."
Laura tersenyum. "Hmm lagi-lagi sama Bara. Kamu emang sengaja ya?"
Elvano tertawa hambar. "Nggak koo random aja."
Viona menatap Elvano dari seberang meja. Ia tahu itu bukan kebetulan.
Hari-hari berlalu. Bara dan Laura semakin dekat. Mereka sering pulang bareng, belajar bareng, bahkan mulai saling memberi hadiah kecil. Elvano tetap ada, tetap jadi "lem" yang menyatukan grup, tapi hatinya mulai lelah.
Suatu sore, mereka duduk di taman sekolah. Matahari mulai tenggelam, angin dingin menyapu rambut Laura. Bara duduk di sebelahnya, tertawa sambil menepuk bahu Laura.
Elvano menunduk, menahan rasa cemburu yang makin sulit disembunyikan.
Viona duduk di sampingnya, menepuk tangannya pelan. "Kamu harus ngomong, Van. Kalau terus gini, kamu yang cape sendiri."
Elvano menggeleng. "Aku nggak mau rusak semuanya. Persahabatan ini... terlalu berharga."
Tapi malam itu, semuanya pecah.
Elvano sedang scroll Instagram saat ia melihat story Laura. Foto meja makan, dua piring, satu lilin kecil, dan caption:
"Special night with someone special "
Di bawahnya, ada mention: @baradwipra.
Elvano menatap layar ponselnya lama. Ia nggak reply. Nggak komen. Nggak bilang apa-apa ke siapa pun.Â
Tapi besoknya, ia datang ke sekolah lebih pagi, duduk di pojok kelas, earphone terpasang, tatapan kosong.
Rafa notice pertama. "Van, aman?"
Elvano mengangguk. "Hah? aman aman."
Fahrezy ikut nimbrung. "Tapi lo kelihatan beda aja."
Elvano tersenyum. "Ah nggak, biasa aja ko."
Tapi semua tahu, itu bukan senyum biasa.
Saat istirahat, Bara akhirnya mendekat. "Van, lo lihat story Laura?"
Elvano mengangguk pelan. "Iya. Kenapa gitu?"
"Nggak gue cuma... takut lo salah paham aja."
Elvano tertawa kecil. "Hah? salah paham apa? Kalian berdua emang cocok ko."
Bara terdiam. "Lo nggak marah kan?"
"Ya nggak lah. Ngapain juga gua marah. Santai aja."
Laura datang, berdiri di samping Bara. "Van, kamu beneran nggak apa-apa?"
Elvano menatap mereka berdua. "Beneran. Gua seneng ko kalian bahagia."
Viona yang duduk di belakang mereka, menatap Elvano lama. Ia tahu, itu bukan kalimat jujur.
Setelah istirahat, mereka pindah ke lapangan belakang sekolah. Tempat biasa nongkrong, tapi sore itu rasanya beda. Langit mendung, angin gerah, dan suasana kayak nahan sesuatu yang siap meledak.
Elvano duduk agak jauh dari Bara dan Laura. Rafa dan Fahrezy duduk di tengah, ngobrol soal tugas akhir. Viona duduk di ujung, matanya sesekali melirik Elvano yang kelihatan lebih tenang dari biasanya---tenang yang nggak sehat.
Bara mulai buka obrolan, "Van, lo beneran nggak apa-apa?"
Elvano masih senyum. "Gua kan udah bilang tadi, santai aja."
Bara mengangguk pelan, tapi matanya nggak lepas dari Elvano. "Soalnya lo beda aja. Lo biasanya rame, sekarang malah kayak... ngilang."
Elvano nyeruput minumannya. "Gua cuma lagi pengen diem. Nggak semua hal harus diramein kan, Bar."
Laura ikut nimbrung, duduk di sebelah Bara. "Tapi kita ngerasa lo ngejauh, Van. Lo keluar dari grup, jarang nongkrong, terus sekarang duduknya juga jauh."
Elvano menatap mereka sebentar, lalu balik lagi ke botol minumnya. "Gua cuma lagi pengen sendiri aja. Gua nggak ngejauh ko."
Viona akhirnya angkat suara, pelan tapi jelas. "Van, lo nggak harus pura-pura nggak apa-apa."
Elvano diam. Lalu narik napas panjang. "Gua nggak pura-pura. Gua cuma... capek."
Bara berdiri, nada suaranya mulai naik. "Capek kenapa? Lo bisa ngomong, Van. Kita satu circle, bukan orang asing."
Elvano ikut berdiri, nadanya masih tenang tapi mulai berat. "Justru karena kita satu circle, gua nggak mau rusak semuanya."
"Rusak apaan sih?" Bara mulai emosi. "Lo ngomong yang bener, jangan muter-muter!"
Rafa dan Fahrezy langsung berhenti ngobrol, mulai fokus ke arah mereka.
Elvano akhirnya meledak. "Lo tahu gua suka Laura dari awal, Bar. Lo tahu! Tapi lo tetap maju. Lo tetap deketin dia. Lo tetap posting kemesraan kalian di story seolah-olah nggak ada yang lo injak!"
Laura terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
Bara balas, "Gue nggak pernah tahu lo suka dia!"
"Lo tahu!" Elvano nunjuk Bara. "Lo tahu dari Viona, dari cara gua liat dia, dari semua obrolan kita! Tapi lo tetap jalan!"
"Gue nggak pernah niat nyakitin lo!"
"Tapi lo tetap lakuin!" suara Elvano naik. "Lo tetap ambil dia, dan lo tetap pura-pura jadi sahabat gua!"
Rafa berdiri, panik. "Udah, Van. Jangan di sini."
Fahrezy ikut berdiri. "Van, Bar, kalian sahabat. Ini bisa dibicarain."
"HAHAHA sahabat sahabat lagi!. Sahabat ta* anjin*" Elvano teriak. "Gua capek jadi lem yang nyatuin circle, tapi nggak pernah punya tempat di tengahnya!"
Laura mulai nangis. "Aku... aku nggak tahu, Van..."
Viona berdiri, suaranya gemetar. "Kamu nggak tahu karena kamu nggak pernah lihat. Kamu terlalu sibuk bahagia sama Bara sampai lupa ada orang yang diem-diem nahan semuanya."
Bara menatap Elvano, nafasnya berat dan matanya merah. "Kalau lo ngerasa dikhianatin... yaudah. Anggap aja gue bukan temen lo lagi."
Elvano menatap Bara tajam. "HAHA, ada ya orang setol*l ini, sehat sehat deh otak lo."
Hening. Nggak ada yang berani ngomong. Bahkan angin pun terasa berhenti.
Elvano ambil tasnya, lalu pergi tanpa menoleh.
Sore itu, circle mereka pecah. Bukan karena satu orang salah. Tapi karena terlalu banyak yang diam, terlalu banyak yang pura-pura kuat, dan terlalu sedikit yang benar-benar jujur.
Dan sejak hari itu, tawa mereka nggak pernah lagi terdengar utuh, grup yang biasanya ramai itu seketika sunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI