Mohon tunggu...
Mualif Hida
Mualif Hida Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang pembaca yang giat mencari makna hidup dari setiap lembar yang dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pager Payaman

25 Maret 2025   22:00 Diperbarui: 25 Maret 2025   21:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Eehh, a..a..aku s..s..Sari."

"Oalah, Sari. Aku barista di sini, salam kenal, ya."

Rasanya seperti saat kambing bapak melahirkan dua ekor cemple jantan. Hari-hari setelah kami saling bertukar nama saat hari pertama kerja, memperjelas rasa 'aneh' yang kualami saat itu. Coffee shop tempat kami bekerja, telah menjadi saksi bisu bagaimana hubungan kami. Aryo bahkan mengajariku bagaimana cara menggunakan seluruh alat penyeduh kopi yang terpajang rapi di balik tembok kaca yang membatasi area dapur dengan meja pelanggan.

Aryo yang kutahu; sangat menjaga privasi diri, tetapi begitu pengertian, terbuka masalah pekerjaan, juga hal lain di luar identitasnya.

Pernah suatu waktu, aku mencoba menengok ponsel di genggamannya. Sejak pelanggan terakhir meninggalkan kafe satu jam lalu, jemarinya lihai menekan-nekan layar ponselnya. Aryo terlalu fokus pada benda itu, sampai-sampai tak acuh padaku.

Beberapa saat lalu, perempuan bergincu tebal itu memesan secangkir cappuccino, kemudian melempar senyum menggoda Aryo. Mataku turut menoleh pada Aryo di sebelahku. Ia membalas dengan senyum yang nampak hangat. Mungkin mereka sudah saling kenal. Siapa perempuan itu. Meski ada emosi terpendam dan hendak mencuat, aku berusaha tenang.

Saat kulirik ponselnya, emoji hati di layar atas tampak samar, pun nama yang tertera di belakangnya. Sedetik kemudian ia sadar aku sedang mengintip ponselnya, ia langsung berpaling, Hei, ini privasi, katanya. Aakh, sial. Hampir saja aku membaca nama yang tertera, gumamku.

***

Matahari belum sepanas api di pawon, teman sekolah Bapak waktu STM dari desa Payaman, sudah mendahuluinya menerobos pagar rumahku, lantas melempar salam yang ditangkap balasan oleh Bapak yang baru saja duduk di kursi teras. Biasanya, ia datang berkunjung sebulan sekali, atau dua minggu sekali menemui Bapak. Lhoh, biasane kan Pak Narto ke sini malam-malam, dengaren iki pagi-pagi udah di depan pagar.

"Nduk, buatkan kopi, dua!"

"Nggih, Pak," segera kuiyakan perintah Bapak meskipun sakit hati semalam masih membasahi sekujur badan. Bergegas aku keluar kamar sambil mengikat rambut yang masih acak-acakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun