Mohon tunggu...
Muhammad Thoha Hanafi
Muhammad Thoha Hanafi Mohon Tunggu... profesional -

dengan bismillah....sesungguhnya Kasih Sayang itu hanya Kepunyaan Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontemplasi Menggugat Sidang Istbat Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal

17 Juli 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:26 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kalian, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan supaya kalian mendapat petunjuk.] (Q.S. al-Baqarah: 150).


Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5897), dan Muslim (397), bahwa Nabi SAW berkata orang yang beliau ajari bagaimana cara shalat:


اِذَا قُمْتَ اِلَى الصَّلاَتِ فَاَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ


Apabila kamu hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.


Yang dimaksud al-Masjidil Haram dalam ayat dan al-Qiblat dalam hadits, ialah Ka’bah. Ka'bah adalah sebuah bangunan yang dibangun zaman nabi Ibrahim AS yang berada dalam masjidil haram.

Dalam surah al-Baqarah 150 itu mewajibkan kita menghadap ke masjidil haram saat melakukan shalat dimana pun sedang berada. Akan tetapi kewajiban tersebut tidak disertai dengan pengertian harus melihat masjidil haram di depan mata, bukan? Dalil itu pun tidak bermaksud bahwa ka'bah sebagai sesembahan atau dianggap sebagai Tuhan, bukan? "Memalingkan wajah", dan "menghadap atau mengarahkan muka" dalam pengertian umum tentu disertai dengan melihat, memandang dan mengetahui benar posisi obyek yang dimaksud. Dalam hal ini tentunya mata sebagai organ penglihatan akan difungsikan. Akan sangat aneh kalau seseorang menghadapkan mukanya ke arah X tetapi matanya diarahkan ke arah A.


Esensi yang dimaksud dalam ayat dan hadits tersebut bukan terletak pada bisa atau tidak kita melihat masjidil haram saat melakukan sholat setiap waktunya. Namun lebih menekankan pada kemana arah kiblat yang harus dituju sebagai satu arah sholat. Kesatuan arah bagi umat Islam dimana pun berada tersebut sebagai perlambang atau "tanda" perintah untuk menciptakan satu kekuatan. Karena sebuah persatuan akan menciptakan sebuah kekuatan. Bersatu kita teguh. Dan hakekat dalil ini tidak menjadikan masjidil haram yang ada ka'bah didalamnya sebagai suatu sesembahan atau Tuhan.

Yang jadi pertanyaannya dalam hal ini adalah bagaimanakah kita muslimin di Indonesia yang jauh dari tanah tempat masjidil haram tersebut mengarahkan wajahnya? Pada penentuan arah kiblat ini pun kita menggunakan alat bantu hasil ilmu pengetahuan dan diadopsi dari proses kerja ilmu hisab. Di sini ilmu digunakan sebagai alat untuk membuat diri kita yakin bahwa arah yang dituju adalah sebagaimana yang dikehendaki dalil-dalil tersebut, yaitu masjidil haram, kiblatnya umat Islam.


-bagaimana Rasulullah SAW menyikapi kesaksian seseorang atas pengakuannya melihat hilal. Kita bisa membandingkan dengan perlakuan kesaksian seseorang pada zaman sekarang ini. Rasululllah SAW tidak menyuruh orang yang meyaksikan hilal baru tersebut untuk mengangkat sumpah, tetapi hanya meyakini saja bahwa orang tersebut bersyahadat (Islam). Sedangkan di zaman sekarang para saksi/pengamat hilal harus mengangkat sumpah. Apakah mengucap syahadat sama dengan mengangkat sumpah seperti kebanyakan pengamat hilal yang diterjunkan dewasa ini? Pengambilan sumpah pada zaman sekarang terhadap saksi-saksi bertujuan bahwa saksi tersebut agar menyampaikan apa yang dilihatnya adalah dengan benar adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi sedikit pun. Hakekat dari mengangkat sumpah ini secara legal menempatkan setiap orang itu dalam posisi yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, bukan?

Faktor dan contoh-contoh tersebut diataslah yang menunjukkan fakta adanya perbedaan prinsipiil perlakuan terhadap kondisi umat Islam pada zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang. Dan memang kenyataannya kita akan sulit menemukan kejujuran. Dan itu adalah merupakan suatu masalah buat kehidupan kita saat ini termasuk apabila melakukan rukyatul hilal seperti yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.


-Hadits tersebut juga memberikan pesan pula bahwa sidang istbat seperti yang dilakukan Kementerian Agama dalam menentukan awal bulan ramadhan dan syawal tidak dikenal atau tidak dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun