Mohon tunggu...
Muhammad Thoha Hanafi
Muhammad Thoha Hanafi Mohon Tunggu... profesional -

dengan bismillah....sesungguhnya Kasih Sayang itu hanya Kepunyaan Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontemplasi Menggugat Sidang Istbat Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal

17 Juli 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:26 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramadhan telah tiba dan akan selalu menjumpai kita kaum muslimin. Bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari malam seribu bulan.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.


“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-­orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, itulah yang lebih baik baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-­penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia ber­puasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggal­kan itu pada hari-hari yang lain. Allah meng­hendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak meng­hendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangan (bulan) itu dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberi­kan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]


Dalil diatas sebagai dasar adanya kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Sebagai ibadah wajib, puasa memiliki dan memberi manfaat tidak saja bagi yang melakukan puasa itu tetapi bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, lingkungan, dan sebagainya.


Permasalahan timbul di zaman sekarang ini siapa yang berhak menentukan kapan bulan ramadhan itu? Tentu legal formiil perintah puasa diikuti dengan kapan waktu yang tepat pelaksanaannya. Legal formiil yang dimaksud disini adalah tentunya Al Qur'an dan Hadits.


Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Adapun isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut :



Pertama : Fatwa


1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru'yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.


2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.


3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi terkait.


4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla'nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.


Kedua : Rekomendasi


Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.


Pada point pertama fatwa MUI tersebut diakui dua metode ru'yah dan hisab sebagai cara penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.


Pada point ketiga fatwa MUI disebutkan dan diakui peran ormas-ormas dalam menetapkan awal bulan ramadhan, syawal dan dzulhijjah. Ormas merupakan elemen penting dalam memberikan masukan kepada kementerian agama untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.

Yang namanya pendapat atau masukan tentu boleh saja disampaikan kapan dan dimanapun. Tinggal mengukur penyampaian pendapat atau masukan itu tepat sasaran atau tidak. Pendapat atau masukan dari ormas itu bisa bersifat formiil maupun informiil. Sehingga tidak ada yang salah bila suatu ormas mengumumkan hasil perhitungannya atau penetapannya terhadap awal bulan ramadhan, syawal jauh-jauh hari sebagai bentuk keterbukaan informasi.

Tentu saja banyak ormas akan timbul banyak pendapat, seperti satu orang manusia bisa mengeluarkan berbagai pendapat tentang sesuatu hal dan bisa berbeda dengan orang lainnya. Itu Sunnatullah. Disinilah letak terjadinya perbedaan yang akan sulit dipersamakan sebagai akibat adanya perbedaan penggunaan metode penentuan awal bulan baru hijriah (bulan qomariyah). Perbedaan itu biasanya didukung oleh keyakinan dalam menganalisa, mengamati dan mengambil kesimpulan awal berkaitan makna hadits. Ada yang membaca hadits tersebut secara terpisah dengan hadits-hadits lainnya, bahkan tidak merujuk pada Al-Qur'an. Ada pula yang membaca sebuah hadits runut dari dalil Al-Qur'an yang mendasarinya. Sebuah hadits dalam konteks terakhir ini berada dalam posisi pelengkap dalil yang ada dalam Al-Qur'an.

Dalam mengambil pelajaran dan pesan pun terkadang sebuah dalil tidak saja dibaca dan dimaknai secara tekstual tetapi bisa lebih luas. Dalil tersebut "di-baca (iqro) dengan nama Allah SWT" terhadap kondisi dan keadaan umat Islam zaman itu lengkap dengan wilayah jangkauannya. Seperti yang di contohkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW saat wahyu pertama turun. Dimana Rasulullah di minta "baca, baca dan bacalah dengan nama Tuhan..." Padahal Rasulullah adalah seorang yang tidak mengenal aksara. Sebagai wahyu pertama Rasulullah SAW tersebut, tentu banyak hikmah dan hakekat yang dapat diambil. Diantara hikmah dan hakekat surah pertama/wahyu pertama itu adalah memberikan gambaran, pelajaran dan pesan kepada kita umat Rasulullah SAW, bahwasanya dalam membaca suatu ayat Al-Qur'an dan tentu juga Hadits Rasulullah, kita tidak saja harus membacanya, memahami secara tekstual tetapi juga bisa memahami dan membacanya secara scientifik, aplikatif, dan solutif dengan lingkungan sekeliling. Dari pelajaran yang diberikan Allah SWT melalui malaikat Jibril terhadap Nabi Muhammad SAW itulah kita harus meyakini bahwa Allah SWT memberikan banyak ilmu dan pelajaran kepada manusia seperti mulai dari jatuhnya dedaunan kepermukaan bumi sampai adanya manusia dari setitik air, langit yang tidak bertiang, laut yang tidak terhitung dalamnya, pergerakan tata surya dan sebagainya. Semua itu memberikan kita keyakinan alam beserta isinya adalah rentetan ayat-ayat/wahyu-wahyu Allah SWT. Tinggal kita sebagai manusia mampu atau tidak membaca ayat-ayat Allah SWT tersebut.

Setiap keyakinan tersebut tentu harus didasari dan dikembalikan pada dalil-dalil yang jelas dan ada serta diakui dalam Al-Qur'an dan Hadits. Dan apabila kita berpatokan pada dua hal tersebut, Insya Allah akan selamat dunia dan akhirat.

HISAB


Di Indonesia ilmu hisab cukup mendapat perhatian umat Islam dan berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dinyatakan bahwa ulama yang pertama dikenal sebagai bapak ilmu hisab Indonesia adalah Syekh Thaher Jalaluddin al-Azhari ( Deliar noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia ; Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), h. 40-42.) kemudian selanjutnya, perkembangan Ilmu Hisab di pelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi yang didirikannya yaitu persyarikatan Muhammadiyah ( Lihat Drs. Mustafa Kemal Pasha,B.Ed. dan Ahmad Adaby Darban,SU., Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : Pustaka pelajar offset,2000, Cet. 1), h. 70). Dalam perjalanannya Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia.


Hisab secara harfiah berarti perhitungan. Perhitungan tersebut tentu saja secara matematis dan astronomis. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriah. Dalam konteks ini tentu saja posisi bulan baru tersebut tidak saja menentukan kapan awal ramadhan, syawal dan dzulhijjah saja tetapi bulan-bulan baru lainnya dalam kriteria bulan qomariyah seperti muharram, rajab, sya'ban dsb. Hal ini tentu berkaitan dengan konsistensi penggunaan metode penentuan awal bulan baru.


Metode perhitungan atau hisab itu diterangkan dalam Al qur'an diantaranya, Surah Al An'am (6) ayat 96 :


فَالِقُ الْإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ


artinya sebagai berikut :


" Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui."

Dan Surah Yunus(10) ayat 5 :


هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السّنِيْنَ وَالحِْسَابَ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الأيَاَتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ


artinya sebagai berikut :


"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."


Ayat-ayat tersebut diatas diantaranya, memberi kita pesan dan gambaran bahwa matahari dan bulan yang diciptakan Allah SWT dengan kebesaran-Nya digunakan untuk manusia mengetahui bilangan waktu yang terdiri atas detik ke detik menuju menit ke jam, jam berganti dalam hari, hari berganti jadi bulan dan akhirnya bulan berganti menjadi tahun. Dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ramadhan dan syawal adalah bagian dari bulan-bulan dalam tahun hijriah. Tidak ada tahun hijriah tanpa ramadhan dan syawal, bukan? Perhitungan waktu berhubungan dengan segala aktifitas hidup manusia termasuk untuk ibadah. Dalil diatas adalah bersifat informasi dan mengikat. Dalam ilmu pengetahuan ayat-ayat tersebut diterjemahkan dalam bentuk jam, kalender, kompas, ilmu astronomi dan sebagainya. Itulah salah satu Sunatullah yang harus diterima setiap manusia.


Ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan), sehingga sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu astronomi. Dan timbulah ahli astronomi ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern seperti Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.


Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.


Dengan ilmu hisab ini pulalah maka tersusun kalender tahunan, bahkan untuk sepuluh tahun. Pengunaan kalender dalam masyarakat luas tentu tidak asing lagi.


Dan metode kerja jam sebagai penanda waktu pun lahir dari adopsi ilmu hisab. Jam itulah yang banyak digunakan manusia dalam aktifitas sehari-hari, termasuk dalam melihat waktu atau jadwal sholat. Masih banyak penggunaan ilmu hisab yang dipakai manusia tanpa sadar dan itu sangat membantu aktifitas manusia.


RU'YAH ATAU RUKYAT


Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yaitu penampakan bulan sabit yang pertama kali timbul setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.


Namun demikian tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil akan dapat terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ


“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawal) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)


-Dalil lain tentang pentingnya melihat hilal, diantaranya:

Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam,


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ


“Berpuasalah karena melihatnya (hilal).” (Muttafaq ‘Alaih) maka siapa yang melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri maka ia wajib berpuasa.


-Adanya orang yang bersaksi telah melihat hilal atau adanya kabar berita terlihat hilal. Puasa Ramadhan bisa dimulai dengan kesaksian seorang mukallaf yang adil. Kabar yang dia sampaikan tentang terlihatnya hilal sudah mencukupi untuk dijadikan landasan dimulainya puasa. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar Rodhiyallahu 'Anhuma,


تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ


“Orang-orang berusaha melihat hilal (bulan sabit), lalu aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum.” (HR. Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban).


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu 'Anhuma, “Ada seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu berkata: Sungguh aku telah melihat hilal.”


Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (berhak diibadahi) kecuali Allah?”


Ia menjawab, “ Ya.”


Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.”


Ia menjawab, “ Ya.”


Beliau bersabda, “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan. Dishahihkan Ibnu Huzaiman dan Ibnu Hibban).


Ada beberapa point yang dapat difahami pada Hadits-hadits tersebut :


-memberikan kita gambaran bagaimana kewajiban puasa bagi yang melihat hilal .


-kita sebagai muslimin tentu tidak saja meng-imani keberadaan sebuah hadits sebagai dasar hukum. Al-Qur'an dan Hadits adalah peninggalan Rasulullah SAW sebagai pegangan umat manusia hingga akhir zaman. Dari sini kita menyadari bahwa keberadaan hadits-hadits diatas merupakan pelengkap dari dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an. Dan Hadits tidak bisa didudukan pada posisi yang terpisah, dalam konteks ini seperti Surah Yunus ayat 5, Surah Al An'am ayat 96 dan sebagainya.

Hadits diatas memberi kita gambaran bahwa Rasulullah SAW menghendaki kita umatnya untuk melihat hilal baru sebagai tanda pergantian bulan. Tanda tersebut tentu berkaitan dengan cara menumbuhkan rasa yakin, percaya diri dan kemantapan. Sebuah "tanda" seperti hilal baru, dalam ilmu pengetahuan dapat dideteksi atau dapat diidentifikasi tidak hanya melalui indra penglihatan atau mata. Dalam konteks inilah peran hisab sebagai sebuah cara memiliki kegunaan dalam menentukan peralihan bulan atau timbulnya hilal baru.

Dalam hadits tersebut diungkapkan bahwa berpuasalah kamu bila melihat hilal, tetapi apabila tertutup sehingga mata tidak mampu melihatnya, maka genapkan Sya'ban menjadi 30 hari. Hadits tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa inti dari rukyatul hilal itu saat hendak berpuasa ramadhan adalah sebagai cara untuk memastikan apakah itu memang bulan ramadhan ataukah bukan. Kalau tidak yakin, maka genapkan hitungan Sya'ban. Oleh karenanya melihat hilal baru atau rukyatul hilal dalam hadits tersebut bukan menjadikan rukyatul hilal tersebut sebagai sebuah rukun adanya kewajiban atau timbulnya kewajiban puasa. Tentu kita tahu apa itu rukun puasa, bukan?

Kalau melihat hilal dianggap atau dijadikan sebagai rukun sahnya puasa, maka tentu saja penghalang penglihatan manusia seperti awan dan sebagainya tidak menjadi alasan untuk sebuah alternatif. Alternatif dalam hadits tersebut "dengan menggenapkan bulan sya'ban".


Dari pemahaman inilah kita seharusnya menyadari bahwa esensi pesan dari hadits tersebut terletak pada pentingnya "sebuah keyakinan" untuk menentukan peralihan bulan baru qomariyah. Bagaimana cara nya membuat agar hati dan pikiran kita yakin tentang adanya hilal baru itu? Tentu yang bisa kita yakinkan keberadaannya adalah timbulnya tanda yaitu dengan melihat hilal. Dari sinilah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah tanda dapat diidentifikasi melalui berbagai cara atau metode alternatif untuk bagaimana menimbulkan keyakinan dalam hati, pikiran dan tindakan kita dalam berpuasa ramadhan. Sebagai suatu cara itulah kita kembali pada dalil yang ada dalam Al-Qur'an, yakni antara lain merujuk ke Surah Yunus ayat 5, dimana hisab adalah cara yang obyektif untuk mengetahui adanya hilal baru, dengan tetap menjunjung tinggi keberadaan hadits tersebut.

Kita dapat menyadari bahwa Rasulullah SAW dalam memberikan contoh-contoh dalam aktifitas hidup Beliau selalu mempertimbangkan agar mudah diikuti umat. Beliau sadar kondisi umat saat itu dan umat Islam umumnya sehingga "mencontohkan" cara menentukan hilal baru adalah dengan rukyatul hilal sebagai cara yang termudah. Konteks termudah disini tentu menurut kondisi dan zaman kehidupan Rasulullah SAW dan umat Islam pada umumnya. Dari esensi inilah kita mengambil pesan bahwa apabila kita yakin melihat hilal baru dengan cara perhitungan yang tentu saja merupakan aplikasi dari Surah Yunus ayat 5, tanpa mempertimbangkan berapa derajat hilal baru itu timbul dan dapat dilihat oleh mata, maka tentu itu selaras dengan hadits Rasulullah SAW tersebut.


Sebagai rujukan yang memiliki makna yang dapat dipersamakan dengan pentingnya melihat hilal untuk menentukan awal bulan baru ramadhan, seperti adanya dalil tentang wajibnya kita menghadapkan wajah ke arah kiblat.


Firman Allah SWT :


وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ


artinya:

[Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kalian, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan supaya kalian mendapat petunjuk.] (Q.S. al-Baqarah: 150).


Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5897), dan Muslim (397), bahwa Nabi SAW berkata orang yang beliau ajari bagaimana cara shalat:


اِذَا قُمْتَ اِلَى الصَّلاَتِ فَاَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ


Apabila kamu hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.


Yang dimaksud al-Masjidil Haram dalam ayat dan al-Qiblat dalam hadits, ialah Ka’bah. Ka'bah adalah sebuah bangunan yang dibangun zaman nabi Ibrahim AS yang berada dalam masjidil haram.

Dalam surah al-Baqarah 150 itu mewajibkan kita menghadap ke masjidil haram saat melakukan shalat dimana pun sedang berada. Akan tetapi kewajiban tersebut tidak disertai dengan pengertian harus melihat masjidil haram di depan mata, bukan? Dalil itu pun tidak bermaksud bahwa ka'bah sebagai sesembahan atau dianggap sebagai Tuhan, bukan? "Memalingkan wajah", dan "menghadap atau mengarahkan muka" dalam pengertian umum tentu disertai dengan melihat, memandang dan mengetahui benar posisi obyek yang dimaksud. Dalam hal ini tentunya mata sebagai organ penglihatan akan difungsikan. Akan sangat aneh kalau seseorang menghadapkan mukanya ke arah X tetapi matanya diarahkan ke arah A.

Esensi yang dimaksud dalam ayat dan hadits tersebut bukan terletak pada bisa atau tidak kita melihat masjidil haram saat melakukan sholat setiap waktunya. Namun lebih menekankan pada kemana arah kiblat yang harus dituju sebagai satu arah sholat. Kesatuan arah bagi umat Islam dimana pun berada tersebut sebagai perlambang atau "tanda" perintah untuk menciptakan satu kekuatan. Karena sebuah persatuan akan menciptakan sebuah kekuatan. Bersatu kita teguh. Dan hakekat dalil ini tidak menjadikan masjidil haram yang ada ka'bah didalamnya sebagai suatu sesembahan atau Tuhan.

Yang jadi pertanyaannya dalam hal ini adalah bagaimanakah kita muslimin di Indonesia yang jauh dari tanah tempat masjidil haram tersebut mengarahkan wajahnya? Pada penentuan arah kiblat ini pun kita menggunakan alat bantu hasil ilmu pengetahuan dan diadopsi dari proses kerja ilmu hisab. Di sini ilmu digunakan sebagai alat untuk membuat diri kita yakin bahwa arah yang dituju adalah sebagaimana yang dikehendaki dalil-dalil tersebut, yaitu masjidil haram, kiblatnya umat Islam.


-bagaimana Rasulullah SAW menyikapi kesaksian seseorang atas pengakuannya melihat hilal. Kita bisa membandingkan dengan perlakuan kesaksian seseorang pada zaman sekarang ini. Rasululllah SAW tidak menyuruh orang yang meyaksikan hilal baru tersebut untuk mengangkat sumpah, tetapi hanya meyakini saja bahwa orang tersebut bersyahadat (Islam). Sedangkan di zaman sekarang para saksi/pengamat hilal harus mengangkat sumpah. Apakah mengucap syahadat sama dengan mengangkat sumpah seperti kebanyakan pengamat hilal yang diterjunkan dewasa ini? Pengambilan sumpah pada zaman sekarang terhadap saksi-saksi bertujuan bahwa saksi tersebut agar menyampaikan apa yang dilihatnya adalah dengan benar adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi sedikit pun. Hakekat dari mengangkat sumpah ini secara legal menempatkan setiap orang itu dalam posisi yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, bukan?

Faktor dan contoh-contoh tersebut diataslah yang menunjukkan fakta adanya perbedaan prinsipiil perlakuan terhadap kondisi umat Islam pada zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang. Dan memang kenyataannya kita akan sulit menemukan kejujuran. Dan itu adalah merupakan suatu masalah buat kehidupan kita saat ini termasuk apabila melakukan rukyatul hilal seperti yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.


-Hadits tersebut juga memberikan pesan pula bahwa sidang istbat seperti yang dilakukan Kementerian Agama dalam menentukan awal bulan ramadhan dan syawal tidak dikenal atau tidak dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.

Sehingga dengan demikian, apakah sidang istbat bisa disebut mengada-ada, bid'ah atau bukan cara Islami?

Belum ada dalil yang menjustifikasi sidang istbat sebagai cara menentukan awal ramadhan pada zaman Rasulullah SAW. Apalagi bila dalam sidang tersebut diambil dengan model suara terbanyak.


Rasulullah SAW memberikan contoh-contoh hidup yang harus diikuti umatnya sebagai tanda hormat dan sayang kita kepada pribadi dan segala ajaran Beliau. Rukyatul hilal memang adalah cara yang simple yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dalam menentukan awal bulan baru ramadhan, dan syawal. Kendala dalam melihat hilal dewasa ini bukan hanya bisa dilihat atau tidak secara kasat mata. Tetapi faktor siapa yang mampu melihat, benar atau tidak, dimana melihatnya, dan kapan melihatnya dan seterusnya adalah pertanyaan klasik yang akan selalu timbul. Kita menemukan kenyataan fenomena dewasa ini, bahwa ada yang bersaksi dan bersumpah telah melihat hilal, tetapi kesaksiannya dengan mudah dinilai salah, keliru bahkan dusta. Kesaksian seseorang dianggap dusta atau keliru, kebanyakan dinilai dengan menggunakan ilmu astronomi. Pada proses itu ilmu hisab sebenarnya sedang digunakan untuk mengetahui posisi hilal bisa dilihat dengan mata sendiri atau tidak, sehingga dengan gampangnya langsung menjudge kesaksian seseorang atas penglihatannya terhadap hilal adalah salah, keliru bahkan dusta. Jadi metode hisab dipakai untuk menilai rukyatul hilal secara kasat mata. Sementara kalau kita kembalikan pada zaman Rasulullah SAW kondisinya sama sekali tidak menggunakan ilmu hisab (seperti kebanyakan anggapan orang yang membid'ah kan ilmu hisab tersebut). Artinya pada zaman Rasulullah SAW tidak ada dan tidak dikenal perhitungan yang dipakai dalam mengetahui posisi hilal. Sehingga timbul kesan kuat sesuai anggapan ini, sifat spontanitas lebih mendominasi rukyatul hilal pada zaman Rasulullah SAW. Spontanitas di sini dalam pengertian tidak adanya hitungan posisi hilal baik apakah itu nol derajat, dua derajat, 4 derajat maupun lebih dari itu, baru bisa dilihat.


Dengan adanya ungkapan, "metode hisab sebagai alat bantu untuk merukyat hilal", sementara ilmu hisab dikatakan bid'ah, mengada-ada bahkan sumber kekeliruan tentu ungkapan itu sangat tidak konsisten. Satu sisi menganggap ilmu hisab bid'ah tetapi sisi lain digunakan untuk memperkirakan posisi hilal. Bagaimana mungkin membid'ah kan ilmu hisab tetapi memakainya untuk mengetahui posisi hilal dan akhirnya melakukan rukyatul hilal sebagai pelaksanaan hadits Rasulullah SAW diatas. Bagaimana mungkin kita menggunakan jam untuk melihat jadwal sholat yang juga menggunakan metode hisab, sementara ilmu hisab dianggap salah. Dari cara dan ungkapan inilah yang menjadikan keadaan penentuan awal bulan baru tidak konsisten. Apalagi bila cara itu digunakan hanya untuk menentukan dua bulan qomariyah saja. Sementara banyak hasil hisab yang di pakai manusia. Kalau mau membid'ahkan ilmu hisab yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan, maka tentu saja apapun hasil dari ilmu pengetahuan yang notabene tidak ada atau belum ditemukan di zaman Rasulullah SAW konsekuensinya adalah bid'ah dan salah (mudharat) semua.


Dalam konsteks hukum pemerintahan sebagai pengejawantahan azas berkesinambungan, maka konsistensi penggunaan sidang istbat secara ideal seharusnya tidak saja pada penentuan awal bulan ramadhan dan syawal karena bagaimanapun juga bulan hijriah itu bukan hanya dua bulan itu saja tetapi ada bulan dzulhijjah, untuk menentukan kapan hari arafah bagi jemaah haji Indonesia yang ada di arab saudi.

Bulan ramadhan dan syawal tidak bisa dipisahkan dari bulan-bulan qomariyah lainnya. Pemisahan dua bulan qomariyah dari bulan-bulan lainnya laksana memangkas kehidupan dan aktifitas manusia dalam satu tahun. Kita mengenal agenda tahunan, bulanan, mingguan dan sebagainya. Dan setiap agenda berkaitan dengan tanggal dalam bulan. Menyusun agenda kerja, membuat rencana dan sebagainya tentu untuk kemudahan hidup manusia dalam membuat anggaran, membuat pengembangan, memutuskan suatu rencana dan sebagainya. Bagaimana bisa bekerja dengan baik apabila jadwal dan rencana tidak disiapkan jauh-jauh hari.

Umat manusia sekarang hidup ditengah era informasi dimana kebutuhan akan suatu informasi yang berhubungan dengan segala aktifitas hidupnya harus di dapatkan secepat mungkin. Karena ada yang mengatakan "siapa yang menguasai informasi, maka dialah yang menguasai dunia". Hal itu memberi gambaran bahwa informasi yang lebih awal adalah kebutuhan manusia dewasa ini. Kebutuhan atas informasi dan data yang cepat pada akhirnya bertujuan untuk memberikan kemudahan. Lalu apakah kemudahan yang dicari manusia itu adalah suatu petaka? Sebagai manusia yang harus beribadah kepada Allah SWT memang kita harus menyesuaikan segala aktifitas kehidupan dengan jadwal ibadah kita sebagai kewajiban hamba kepada Allah SWT. Hakekat diciptakannya jin dan manusia hanya untuk beribadah tentu konteksnya bagaimana segala aktifitas hidup manusia itu bernilai ibadah.

Islam itu adalah Agama Rahmatan Lil Alamin.


Banyak dalil tentang berbagai kemudahan yang diberikan Islam kepada manusia. khususnya kaum muslimin dalam menjalankan kewajibannya beribadah.

Islam tidaklah memberatkan umatnya dalam pelaksanaan semua kewajiban yang harus diemban manusia. Bukan hanya kewajiban manusia terhadap sesama manusia saja tetapi kewajiban manusia terhadap Allah SWT pun demikian. Apalagi sampai menimbulkan polemik atau menghancurkan rencana-rencana yang sudah disusun sedemikian rupa. Islam pun tidak menghendaki adanya polemik yang berkepanjangan hingga akhirnya malah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah di muka bumi ini. Islam itu adalah agama yang sangat mudah dan selalu memberikan kemudahan dan jalan keluar.


Rasulullah SAW bersabda;


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ


“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)


Tanggungjawab Pribadi Manusia


Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggungjawab. Tanggungjawab itu meliputi segala aspek kehidupan. Dan sesungguhnya tidak ada penciptaan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

Dalam sebuah hadits disebutkan :


حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته


- اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق


Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya."


Hadits tersebut memberi gambaran kepada kita sebagai manusia bahwa setiap diri kita pribadi adalah seorang pemimpin atau amir, atau amri. Seorang pemimpin itu memiliki kemerdekaan. Oleh karenanya konteks hadits ini dalam penentuan awal bulan ramadhan itu seharusnya memberikan hak individual kepada pribadi masing-masing. Setiap pribadi manusia adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas dirinya dan yang dipimpinnya.

Untuk melengkapi kepemimpinannya tersebut, maka setiap manusia apalagi sebagai seorang pribadi muslim dituntut untuk memiliki ilmu dalam setiap aspek kehidupannya. Ilmu itu pun diperlukan dalam beribadah kepada Allah SWT. Ilmu tersebut bisa berfungsi sebagai cara atau alat dan bisa pula berfungsi sebagai metode pemahaman termasuk bagaimana menentukan awal ramadhan.


Pentingnya ilmu pengetahuan bagi kaum muslimin diterangkan Allah SWT dalam firman-Nya,


يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَاقِيْـلَ لَكُمْ تَفَـسَّحُوْافِيْ الْمَجَلِسِ فَافْـسَحُوا يَفْـسَحِ اللهُ لَكُمْۖ وَإِذَا قِيْـلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبْيْرٌ ۝

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah bersabda,


إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَـذَا الْكِـتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ .


Artinya: “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur’an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 817) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu]


Dalil di atas menegaskan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkannya maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan akan dinaikkan derajatnya di akhirat.


Allah ‘Azza wa Jalla menolak persamaan antara orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Sebagaimana Dia menolak persamaan antara para penghuni Surga dengan para penghuni Neraka. Allah berfirman,


قُـلْ هَـلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُونَۗ ….۝


Artinya: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar: 9)


Ayat di atas berbentuk kalimat tanya, akan tetapi pada hakikatnya mengandung arti pengingkaran. Karena orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu tidak akan pernah setara kedudukannya. Yang dapat memahami maksud tersebut hanyalah orang yang cerdas, sehingga dia dapat mengetahui nilai ilmu, kedudukan dan keutamannya. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/284)]


Sementara itu, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan,


لاَيَسْتَوِى أَصْحَبُ النَّارِ وَأَصْحَبُ الْجَنَّةِۗ … ۝


Artinya: “Tidak sama (antara) para penghuni Neraka dengan para penghuni Surga…” (Qs. Al-Hasyr: 20)


Dari asumsi keadaan umat manusia saat ini seperti yang diuraikan diatas, dimana kaum muslimin berada di dalamnya tentu memaksa kita sebagai umat manusia untuk berpacu dengan waktu. Dan menjalankan segala aktifitas hidup dan ibadah dengan dukungan ilmu pengetahuan beserta hasil-hasilnya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan itulah, pengertian rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap dalam pengertian semula yaitu rukyat bil fi'li dan ada juga yang memaknainya sebagai rukyat bil'ilmi yaitu melihat hilal dengan mata ilmu pengetahuan atau hisab.


Dan yang paling utama diantara semua kewajiban menuntut dan memiliki ilmu bagi kaum muslimin yang berkonstelasi dengan pentingnya ilmu pengetahuan itu karena setiap muslim dituntut untuk tidak taqlid buta.


Firman Allah SWT dalam Surah Al Isra'(17) ayat 36 :


وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا


Artinya :


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.


Lebih jauh seorang khalifah, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dalam kitab Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15 mengatakan:


من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح


“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”


Saking pentingnya ilmu itu untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk ibadah.

Bayangkan bagaimana orang yang sedang sholat tidak punya ilmunya. Bayangkan pula bagaimana orang yang berhaji tanpa ilmu. Dan bayangkan orang yang punya mobil tapi tidak tahu cara penggunaannya. Lalu bayangkan pula bagaimana manusia bisa terbang dengan pesawat terbang. Ini memberi bukti bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dan hampir semua aktifitas manusia sekarang tidak lepas dari kemajuan ilmu dan tekhnologi. Bukankah tidak ada ilmu, pengetahuan dan apapun yang ada di dunia dan akhirat kecuali berasal dan kepunyaan Allah SWT yang diberikan kepada manusia untuk kehidupan di dunia ini. Sebagai anugerah untuk kehidupan manusia, maka ilmu pengetahuan sepantasnyalah menjadi alat, cara, metode atau pemahaman yang digunakan. Menampikkan ilmu pengetahuan sama saja dengan menampikkan Sunatullah, bukan?


Perintah puasa, sholat, haji dsb adalah urusan kewajiban manusia secara pribadi kepada Allah SWT sebagai Pemilik dunia dan isinya ini. Setiap tindakan, perbuatan dan amal ibadah pun akan dimintai pertanggungjawaban kepada pribadi yang bersangkutan. Cobalah kita fahami makna Surah Al Baqarah ayat 183-185, Surah Yunus ayat 5 dan surat Al Isra' ayat 36 diantaranya tersebut diatas, Subyek hukum yang dituju dalam ayat tersebut adalah orang pribadi, bukan ormas dan bukan pula kementerian agama.


Seyogyanya Pemerintah dalam hal ini mampu memberikan jaminan pelaksanaan ibadah setiap warganegaranya sebagaimana yang diamanatkan konstitusi negara, tidak memihak, dan memberikan keleluasaan setiap peribadatan itu demi menjaga ketertiban pelaksanaan ibadah menurut keyakinan masing-masing sebagaimana diakui dalam konstitusi negara. Pemaksaan kehendak baik dalam bentuk sindiran, bahkan pembuatan regulasi dan ketetapan dalam domain peribadatan agama tentu tidak bersifat negarawan. Apalagi menjustifikasi suatu pendapat tentang ibadah yang dilakukan seseorang benar atau bathil sangatlah jauh dari fungsi negara. Kebenaran (haq) hanya milik Allah SWT.


Dan idealnya lagi bila sidang istbat dijadikan sebagai sarana menyamakan persepsi terhadap metode atau cara penentuan awal bulan baru hijriah, maka seharusnya dilakukan bukan hanya untuk dua bulan hijriah (ramadhan dan syawal) saja.


Sebagai sebuah ilmu yang merupakan salah satu cabang dari ilmu pengetahuan yang ada sekarang, maka hisab adalah salah satu Sunnatullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun