Bait-bait selanjutnya, dia menimang buku bersampul biru, dia “... cinta pertama.” Lalu buku kedua bersampul hitam, dia “... kekasih yang pernah gigih kuperjuangkan.” Terakhir, buku ketiga, tanpa judul, dia adalah “... diriku sendiri.”
Majas personifikasi yang apik, sebenarnya. Mantan diibaratkan buku yang tersimpan di rak. Mantan pertama: cinta pertama; mantan kedua: kasih tak sampai. Yang kedua ini mungkin ghosting atau cinta tanpa balas, hanya tepuk sebelah tangan, gagal tepuk sakinah.
Aneh, sebenarnya, sih. Mantan kok disimpan rapih di rak hati. Bukannya dibuang jauh ke “lubang sumur”, atau dicampakkan ke “punggung kabel listrik.”
Tapi aku teringat, dia Nyai Fatimah. Dia bisa bikin apa saja. Makanya Ayah Tuah, yang mengaku gurunya, termehek-mehek. Guru kok termehek-mehek pada murid. Gak ada gengsi, tauk.
Tapi benarkah Nyai Fatimah punya cuma dua mantan? Ini yang bikin aku ngakak. Periksa foto ilustrasi puisinya. Seorang perempuan menghadapi satu rak buku penuh. Isinya ratusan buku.
Pertanyaanku, gimana cara dan rasanya punya ratusan mantan? Kompasianer Novia Respati aja, cuma (ngakunya) punya >1 tapi <5 mantan sudah mengklaim diri sebagai ahli mantanologi.
Bagaimana kalau punya mantan ratusan, macam Nyai Fatimah. Kupastikan dia seorang Mahaguru Mantanologi atau, lebih tepat lagi, Founding Mother of Mantanology. Waspadalah dirimu, wahai Ayah Tuah.
Kata-kata Puitis itu Bulu Ketiak
“Dan kata-kata selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh.” Ayah Tuah menutup puisinya dengan baris kalimat itu.
Selarik kalimat yang sungguh heroik, kan?
Tapi tunggu dulu. Frasa “... selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh” itu mengingatkanku pada sesuatu yang rada saru: bulu ketiak. Bulu ketiak (seorang perempuan di hadapan buku-buku) selalu tumbuh meski dihimpit keluh(nya) dan peluh (di ketiaknya).