Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Humor Terakhir: Lagi, Dua Puisi Kompasianer yang Bikin Ngakak Guling-guling

13 Oktober 2025   11:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:57 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bait-bait selanjutnya, dia menimang buku bersampul biru, dia “... cinta pertama.” Lalu buku kedua bersampul hitam, dia “... kekasih yang pernah gigih kuperjuangkan.” Terakhir, buku ketiga, tanpa judul, dia adalah “... diriku sendiri.”

Majas personifikasi yang apik, sebenarnya. Mantan diibaratkan buku yang tersimpan di rak.  Mantan pertama: cinta pertama; mantan kedua: kasih tak sampai. Yang kedua ini mungkin ghosting atau cinta tanpa balas, hanya  tepuk sebelah tangan, gagal tepuk sakinah. 

Aneh, sebenarnya, sih. Mantan kok disimpan rapih di rak hati.  Bukannya dibuang jauh ke “lubang sumur”, atau dicampakkan  ke “punggung kabel listrik.” 

Tapi aku teringat, dia Nyai Fatimah. Dia bisa bikin apa saja. Makanya Ayah Tuah, yang mengaku gurunya,  termehek-mehek. Guru kok termehek-mehek pada murid. Gak ada gengsi, tauk.

Tapi benarkah Nyai Fatimah punya cuma dua mantan? Ini yang bikin aku ngakak. Periksa foto ilustrasi puisinya. Seorang perempuan menghadapi satu rak buku penuh. Isinya ratusan buku.

Pertanyaanku, gimana cara dan rasanya punya ratusan mantan? Kompasianer Novia Respati aja, cuma (ngakunya) punya >1 tapi <5 mantan sudah mengklaim diri sebagai ahli mantanologi. 

Bagaimana kalau punya mantan ratusan, macam Nyai Fatimah. Kupastikan dia seorang Mahaguru  Mantanologi atau, lebih tepat lagi, Founding Mother of Mantanology. Waspadalah dirimu, wahai Ayah Tuah.

Ilustrasi puisi Ayah Tuah
Ilustrasi puisi Ayah Tuah "Langkah Kedua" (Sumber: Ylanite-pixabay/ayah tuah-kompasiana.com)

Kata-kata Puitis itu Bulu Ketiak

“Dan kata-kata selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh.” Ayah Tuah menutup puisinya dengan baris kalimat itu.

Selarik kalimat yang sungguh heroik, kan?

Tapi tunggu dulu. Frasa “... selalu tumbuh meski dihimpit keluh dan peluh” itu mengingatkanku pada sesuatu yang rada saru: bulu ketiak. Bulu ketiak (seorang perempuan di hadapan buku-buku) selalu tumbuh meski dihimpit keluh(nya) dan peluh (di ketiaknya). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun