Petak-petak sawah itu kini digarap oleh warga kampung setempat. Ada delapan keluarga. Generasi ketiga juga, dihitung dari orangtua mertuaku.Â
Pola garapnya molah, atau maroh, bagi dua hasil bersih setelah dikurangi biaya produksi. Dari era orangtua mertuaku sudah begitu. Ya, diteruskan begitu.
Bedanya, dulu hubungan molahnya gak pakai kontrak tertulis. Sekarang dibuatkan kontrak tertulis. Siapa menggarap berapa bata di blok mana dan nandur padi apa musim ini. Sret sret, tanda tangan dua pihak, gitu aja.Â
Kontrak itu perlu. Untuk kontrol. Nanamnya padi ini, panennya bulan anu, hasilnya ditaksir segini.Â
Nah, sebenarnya aku bisa menaksir hasil panen padi dari tampilan pertanaman. Tapi itu gak kulakukan. Lebih nyaman percaya saja pada penggarap.Â
Apakah penggarap jujur? Itu relatif, ya. Ambil lebih dikit, biasalah itu. Kata James Scott, seorang antropolog politik, itu zakat yang diambil sendiri. Ya sudah kalau begitu, ikhlas saja.
Sawah yang Berbagi
"Besok mulai panen." Pesan singkat muncul di layar ponselku, dari "mandor sawah" di Jalaksana sana. Hari itu Jumat, 22 Agustus 2025.
Besoknya, istriku dan aku pagi-pagi benar naik kereta argo pertama ke Cirebon. Dari Cirebon lanjut naik mobil ojol ke Jalaksana. Pukul 10.00 WIB sudah tiba di sawah.
Jalan ke sawah aja jauh dan mahal banget, ya. Begitulah. Tapi ini kan bukan semata "pergi ke sawah". Ini soal eksistensi diriku sebagai sawah.Â
Weh, eksistensi, nyerempet filsafat eksistensialisme. Soal pilihan bebas bertanggungjawabku sebagai sawah. Jadi, ya, konsekuen melakoninya. Jika tak demikian, maka aku tak ada.