Maka aku adalah sawah.
Aku Tetap Sawah
Ya, beranjak dewasa lalu dewasa, aku ternyata tetap sawah.Â
Aku kuliah tentang sawah, mengajar tentang sawah, dan kemudian bekerja di perusahaan sawah. Tetap sawah.
Bagaimana bisa begitu, nah, itu cerita dewasalah. Cerita dewasa hanya untuk orang dewasa (17+), kan.? Takutnya ada anak Gen Z dan Alpha yang ikutan baca.Â
Tapi, sejenak merenung, garis hidup yang sewajarnya mungkin begitu polanya, ya. Dulu dosen pembimbingku anak petani, kuliah pertanian, jadi dosen pertanian, kemudian menteri pertanian, terakhir komisaris BUMN pertanian.Â
Karena itu aku bingung kalau ada orang dulunya supir, lalu bisa jadi pengusaha, kemudian politisi, lalu akhirnya menjadi anggota DPR, atau wamen, atau bahkan menteri. Gimana penjelasannya, coba. Lalu apa gunanya orang tekun belajar sejak dari TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi?
Pusing, ah. Kembali ke sawah aja.
Long story short, kata para podcaster, saat beranjak tua lalu lansia aku menemukan diriku tetap setia sawah.Â
Ceritanya, aku ketiban sampur untuk mengelola sawah peninggalan mertua yang diturunkan dari orangtuanya. Aku masuk generasi ketiga pengelola.Â
Sawah itu tak luas, lagi terfragmentasi. Tapi letaknya panoramik. Terhampar di kaki timur Gunung Ciremai, di daerah Jalaksana, Kuningan. Spotnya sungguh panoramik, indah.