Aku memberi komentar apresiatif pada puisi Pak Tjip. Ini kutipannya:Â
"Untuk pertama kalinya Pak Tjip menganggit sebuah puisi terindah untuk Bu Lina yang berultah ke 82. Ini bukan semata bahasa cinta, tapi perbuatan cinta dari Pak Tjip kepada Bu Lina.
Admin Kompasiana, jangan sok hebat menakar mutu puisi, harap "Puisi Cinta Pak Tjip untuk Bu Lina" ini, kujuduli begitu, menjadi AU. Jika tidak, aku akan membully Admin K, serius!"
Pak Tjip membalas komentarku. Berikut sebagian kutipannya:
"Mauliate godang Pak Felix sudah meng-headline-kan artikel ini.
Kisah cinta pasangan old crack sudah tidak lagi menarik bagi Generasi Z.
Karena itu mengharapkan artikel jadul ini mendapatkan tempat terhormat di Headline sungguh bagaikan pungguk rindukan bulan.
Sebagai penulis out of date saya harus tahu diri.
Bahwa masa keemaasan penulis gaek is over...."
Dan, memang, puisi Pak Tjip itu tak diloloskan Admin K menjadi Artikel Utama. Itu membuat diriku marah pada Admin K.Â
Menurutku Admin K gagal melihat nilai penting puisi tersebut yatu "sebuah pelajaran cinta sejati". Pelajaran itu langsung dari tangan pertama, pelaku langsung, yang sudah membuktika kesetiaan dan kekuatan cinta berpuluh tahun sampai keriputluar dalam. Bukan pengajaran dari konsultan keluarga, yang suka berteori, seperti sejumlah artikel di Kompasiana.Â
Menjadikan puisi Pak Tjip itu Artikel Utama melulu akan memberi manfaat bagi pembaca Kompasiana. Â Semakin banyak orang mendapat pelajaran cinta. Gak ada mudaratnya, kan?
Ngomong-ngomong, siapa ya kurator puisi di kelompok Admin K? Mbak Widha Karina, ya. Aku penyuka puisi-puisinya. Tapi susah memang mengapresiasi puisi Pak Tjip, kalau kurator belum pernah menjadi nenek-nenek yang semakin dicintai suami.
Tapi Pak Tjip memang sedikit gegabah juga, sih. Karena menjadikan intensi penulisan sebagai judul puisinya. Harusnya judul puisi itu: "Roselina, Cahaya yang Tak Pernah Padam." [Lebih dari matahari, tuh. Sebab matahari padam di malam hari.] Tapi masa sih kesalahan macam itu gak bisa dikoreksi Admin Kompasiana?
Tapi sudahlah. Pak Tjip sendiri tak berharap puisinya menjadi AU. Pak Tjip ogah menjadi burung pungguk. Tahu dirilah, katanya. Baiklah kalau begitu, Pak Tjip.
Tapi aku masih marah pada Admin Kompasiana, eh. Ada yang mau ikutan marah? [eFTe]