"Ayo, Poltak. Â Nanti kita istirahat di Namaloha. Â Kita sarapan di situ," kata ayah Poltak.
Kira-kira satu jam perjalanan di lantai hutan, tanpa sinar matahari, akhirnya Poltak dan ayahnya, bersama Si Gogo, tiba di Namaloha. Â Titik ini adalah pintu gerbang masuk hutan Simarnaung. Â Tadi pagi, karena hari masih gelap, Poltak tak menyadarinya.
"Kita istirahat di sini. Â Mana makanan kita, amang."
Poltak menyerahkan makanan kepada ayahnya yang segera membuka dan mulai menikmatinya. Â Si Gogo sibuk memakani rerumputan dan dedaunan.
Tapi Poltak masih terpana dengan pemandangan mahaluas yang terhampar di depan matanya. Â Dari ketinggian Namaloha, di bawah sana, hampir seluruh wilayah Uluan dan Toba Holbung terlihat jelas. Â
Mulai dari Panatapan, Holbung, Ngarai Siarimo tepat di kaki tebing Namaloha, lalu Toruan dan Sorlatong di selatannya. Selanjutnya, jauh ke selatan, adalah hamparan luas dataran dan perbukitan hijau yang menyimpan kota-kota kecil Lumbanjulu, Lumbanlobu, Porsea, Laguboti, sampai Balige.Â
Jauh di selatan tampak permukaan air Danau Toba berkilauan ditimpa sinar matahari pagi.  Tebing kebiruan  di garis barat hamparan danau itu adalah Pulau Samosir yang permai.
Di sebelah kiri tampak Gunung Simanukmanuk berdiri gagah tegak.  Menyusur ke selatan tampak pucuk Gunung Tolong Balige. Lebih jauh ke selatan, tampak gundukan biru Gunung Martimbang, berdiri  tegak di selatan Tanah Humbang dan Silindung. Â
Poltak memejamkan mata mengalirkan seluruh panorama mahaindah itu ke dalam bilik memori di dalam benaknya. Â Lamat-lamat dia seperti mendengar alunan sebuah lagu pujaan, O Tano Batak, yang mengharu-biru.
O Tano Batak, haholonganku. Sai na malungun, do ahu tu ho. Ndang olo modom, ndang nok matakku. Sai namasihol do ahu, sai naeng tu ho
O Tano Batak, sai naeng hutatap. Dapothononku tano hagodanganki. O Tano Batak, andigan sahat. Au on naeng mian di ho, sambulonki