"Bah, bagus kalilah itu. Â Belum ada pastor dari umat kita. Â Semoga Poltak menjadi yang pertama." Â Pak Porhanger menaruh harapan di pundak Poltak.
Harapan disampaikan dalam doa. Â Pada saat doa umat dalam kebaktian gereja di hari Minggu itu, Pak Porhanger memanjatkan doa pengharapan.
"Allah Bapa yang Maha Murah, di antara kami hadir anak kami Poltak. Â Peganglah selalu tangannya, ya Bapa, tuntunlah dia selalu di jalan-Mu, agar kelak tercapai cita-citanya, menjadi seorang pastor, untuk menggembalakan umat-Mu yang masih berkelana di atas bumi ini. Â Tuhan, dengarkanlah doa kami."
"Tuhan, dengarkanlah doa kami," sambut umat serentak.
Doa umat itu sekaligus menjadi pengumuman resmi bahwa Poltak bercita-cita menjadi seorang pastor. Â Berarti dua tahun lagi, jika segala sesuatunya berjalan lancar, Poltak akan masuk ke Seminari Menengah Pematang Siantar. Â
Seminari Siantar itu sekolah pastor asuhan imam-imam Fransiskan dari Ordo Fratrum Minorum Capuchin. Â Disebut juga Ordo Saudara Dina Kapusin.
Bubar gereja, Poltak langsung dikerubuti oleh anak-anak gadis, ibu-ibu, dan nenek-nenek. Mereka menyatakan kekagumannya pada Poltak karena cita-citanya yang mulia itu. Sekaligus menyatakan harapannya semoga Poltak berhasil meraih cita-citanya. Supaya Tuhan mencatat Gereja Katolik Aeknatio sebagai gereja yang mempersembahkan gembala umat-Nya.
Setelah segala pernyataan kekaguman, harapan, dan doa itu, tak lupa para gadis mencubit pipi Poltak, ibu-ibu mengelus kepalanya, dan nenek-nenek mencium pipinya. Poltak menjadi semacam permata yang menjadi pusat perhatian para perempuan itu.
"Baru bercita-cita jadi pastor saja sudah dikerubungi perempuan. Â Bagaimana nanti kalau jadi seminaris, frater, atau pastor?" pikir Poltak yang langsung mabuk perhatian itu.
"Ei, Binsar, Bistok, kalian tidak mau masuk sekolah pastor?" tanya Pak Porhanger.
"Tidak, Amang Porhangernami," jawab Binsar dan Bistok berbarengan. "Kami mau masuk SMP Lumbanjulu saja," lanjut Binsar.