"Binsar! Kejar!"
Poltak berteriak mengomando Binsar. Â Seekor burung puyuh baru saja terbang lurus ke arah selatan padang Holbung dari dekat kaki Binsar. Binsar harus mengejar dan menjatuhkan puyuh terbang itu dengan kibasan sarungnya.
Bistok sendiri berjaga di garis selatan padang Holbung dengan sarung di tangan. Â Siaga mengibas puyuh terbang jika lolos dari tangkapan Binsar.
Cara berburu puyuh ini lain dari yang biasanya. Biasanya, Binsar yang berjaga di garis selatan, Poltak di garis utara. Â Bistok menggebyah semak-semak untuk mengejutkan puyuh. Â Jika puyuh terbang ke selatan maka Binsar yang akan mencegatnya di udara. Â Jika ke utara maka Poltak yang mencegat.Â
Sekarang, Binsar yang mengebyah, lalu mengejar puyuh kaget. Poltak berjaga di utara, Bistok berjaga di selatan.
"Dapot!" Â Binsar bersorak. Â Itu puyuh kedua yang berhasil dikejar dan dijatuhkannya. Â Enam lainnya lolos dari kejarannya. Â Seekor dari enam itu berhasi dijatuhkan Bistok. Â Dua ekor dijatuhkan Poltak. Â Tiga ekor lolos merdeka.
Tiga sekawan itu tidak sedang sekadar berburu puyuh. Â Itu adalah gagasan Poltak untuk meningkatkan kecepatan lari Binsar. Â Latihan lomba lari.Â
Jika bisa mengejar dan menangkap burung puyuh terbang, maka Binsar pasti bisa memenangi seleksi pelari seratus meter di SD Hutabolon. Â Seleksi dilakukan dalam rangka kesertaan dalam perlombaan lari seratus meter pada Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1971 di Parapat.
Di SD Hutabolon, Binsar bersaing dengan Janter dari kelas lima dan Marisi dari kelas enam. Â Hanya satu orang yang akan dipilih Guru Paruhum untuk mewakili SD Hutabolon. Satu sekolah memang diwakili satu orang pelari.
"Binsar, kau harus terpilih mewakili sekolah kita," Poltak menyemangati Binsar. Â "Ya, harus!" Alogo ikut meyakinkan Binsar. Â Semua murid kelas empat mendukung Binsar.
"Tapi  ... Janter dan Marisi larinya cepat seperti angin."  Binsar kurang percaya diri.