"Kenapa, Poltak."
Poltak menjingkat menyasar kuping Guru Marihot. Guru Marihot membungkuk mendekatkan telinga ke mulut Poltak. Â Lalu Poltak membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar Guru Marihot seorang.
"Bah, benar begitu?" Guru Marihot memastikan. Â Poltak mengangguk lugu. "Bah, matilah kita," sesal Guru Marihot.
Cepat-cepat Guru Marihot mengambil penghapus papan tulis. Â Segera dihapusnya gambar kolor merah di jidat Jonder, selayaknya dia menghapus papan tulis. Â Jonder terbatuk-batuk menghirup debu kapur tulis. Â Tapi Guru Marihot tak ambil peduli.
"Diam kau, Jonder," tegurnya, sambil menggambar lagi kolor baru di jidat Jonder. Â Kali ini kolor warna biru dengan tanda kali warna merah.Â
Menakjubkan.  Tangis Berta langsung berhenti.  Lalu saling tukar senyum dengan Tiur yang duduk di samping kirinya. Sebelum kemudian menoleh kepada Poltak, dengan sorot  mata berterimakasih.
Jonder mengikuti pelajaran "Berhitung" pagi itu dengan cara berdiri dalam posisi siap di samping papan tulis. Â Setiap kali Guru Marihot menghapus papan tulis, debu kapur terbang ke wajahnya, membuatnya terbatuk-batuk. Â Itulah ganjaran bagi pengintip kolor murid perempuan.
Hukuman Jonder itu masih terhitung ringan. Â Ada yang lebih berat dari itu. Â Berdiri di atas satu kaki sambil tangan kiri memegang kuping kanan dan tangan kanan memegang kuping kiri. Â Poltak sudah pernah merasakannya lantaran lupa membawa buku catatan pelajaran "Berhitung". Â Rasanya, seakan kuping mau copot dari pangkalnya.
"Kenapa pula kau intip-intip kolor anak perempuan." Â Poltak menegur Jonder saat jam istirahat di luar kelas.
"Aku cuma ingin intip saja."
"Begitukah? Â Itu di jemuran banyak kolor perempuan bergelantungan." Poltak menunjuk ke arah jemuran pakaian di samping rumah Guru Marihot.