Mohon tunggu...
Ariel Nailul Authar
Ariel Nailul Authar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama saya Ariel Nailul Authar, dan saya memiliki minat yang mendalam dalam dunia menulis. Menulis bagi saya bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga sarana untuk mengekspresikan ide, perasaan, dan pandangan hidup saya. Melalui tulisan, saya berusaha menghubungkan diri dengan orang lain, membagikan cerita, serta menginspirasi pembaca dengan berbagai pemikiran dan perspektif baru. Kecintaan saya pada menulis telah mendorong saya untuk terus mengasah kemampuan dan mengeksplorasi berbagai genre, dari esai hingga artikel opini.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Remaja dan Alat Kontrasepsi: Mencegah atau Mendorong?

31 Agustus 2024   11:46 Diperbarui: 31 Agustus 2024   11:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pelaksanaan UU Nomor 17 tentang kesehatan mencakup berbagai program kesehatan, termasuk kesehatan sistem reproduksi. Pasal 103 yang membahas upaya kesehatan sistem reproduksi untuk usia sekolah dan remaja menimbulkan kontroversi, terutama Ayat (4) poin e yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah maju untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan reproduksi remaja, seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual (PMS). Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mendorong perilaku seksual dini di kalangan siswa. 

Salah satu argumen utama yang mendukung penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa adalah pencegahan kehamilan remaja. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tingkat kehamilan remaja di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2022, terdapat sekitar 48 dari 1.000 kelahiran adalah anak perempuan berusia 15-19 tahun. Kehamilan muda, khususnya pada remaja, memiliki berbagai dampak negatif yang signifikan. Salah satu dampak utama adalah masalah kesehatan bagi ibu dan bayi. Remaja yang hamil lebih berisiko mengalami komplikasi kehamilan seperti anemia, preeklampsia, dan persalinan prematur. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu remaja memiliki peluang lebih besar untuk mengalami berat badan lahir rendah dan masalah kesehatan lainnya, yang dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan fisik dan mental mereka.

Dampak sosial dari kehamilan muda juga cukup serius. Remaja yang hamil cenderung menghadapi stigma sosial dan diskriminasi, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka. Banyak remaja putri yang hamil terpaksa meninggalkan sekolah, mengurangi peluang mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan pekerjaan yang baik di masa depan. Hal ini seringkali memperburuk siklus kemiskinan, karena tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai, mereka kesulitan untuk keluar dari kondisi ekonomi yang sulit.

Selain dampak kesehatan dan sosial, kehamilan muda juga memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Keluarga yang harus mengurus seorang ibu remaja dan bayinya seringkali menghadapi beban finansial yang berat. Biaya perawatan kesehatan, kebutuhan bayi, dan hilangnya pendapatan karena kurangnya kesempatan kerja bagi ibu remaja menambah tekanan ekonomi. Ini juga dapat mengakibatkan ketergantungan lebih lanjut pada bantuan sosial, yang dapat membebani sistem kesejahteraan negara.

Selain pencegahan kehamilan pada remaja, penggunaan alat kontrasepsi juga dapat mengurangi penyebaran PMS. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi PMS di kalangan remaja meningkat. Penyediaan alat kontrasepsi, seperti kondom, dapat menjadi langkah efektif untuk menekan angka ini, mengingat kondom tidak hanya mencegah kehamilan tetapi juga melindungi dari berbagai infeksi.

Di sisi lain, penentang kebijakan ini berpendapat bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dapat mendorong perilaku seksual dini. Mereka khawatir bahwa dengan akses yang mudah terhadap kontrasepsi, siswa mungkin merasa terdorong untuk melakukan hubungan seksual sebelum mereka siap secara emosional dan mental. Pendekatan ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa mengurangi otoritas orang tua dalam mendidik anak-anak mereka tentang seksualitas. Orang tua memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai keluarga, dan intervensi dari pihak sekolah atau pemerintah bisa dianggap merusak peran tersebut.

Sebagai bagian dari kebijakan ini, pendidikan seksual komprehensif juga harus diperhatikan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksual yang menyeluruh dan berbasis fakta dapat membantu remaja membuat keputusan yang lebih baik terkait kesehatan reproduksi mereka. Menurut laporan UNESCO, negara-negara yang menerapkan pendidikan seksual komprehensif cenderung memiliki tingkat kehamilan remaja dan PMS yang lebih rendah.

Di Belanda, misalnya, pendidikan seksual dimulai sejak usia dini dan mencakup berbagai aspek seperti hubungan, konsensualitas, dan penggunaan kontrasepsi. Hasilnya, Belanda memiliki salah satu tingkat kehamilan remaja terendah di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap informasi yang tepat dan alat kontrasepsi dapat berjalan beriringan tanpa mendorong perilaku seksual dini.

Penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa juga bisa dilihat sebagai upaya untuk memenuhi hak kesehatan reproduksi remaja. Menurut Konvensi Hak-Hak Anak PBB, anak-anak berhak atas informasi dan layanan kesehatan yang memungkinkan mereka membuat keputusan yang bijak terkait tubuh mereka. Dengan memberikan akses terhadap kontrasepsi, pemerintah dapat membantu remaja melindungi diri mereka dari risiko kesehatan yang serius.

Lebih jauh lagi, remaja yang memiliki akses ke alat kontrasepsi cenderung lebih proaktif dalam merencanakan masa depan mereka. Mereka dapat lebih fokus pada pendidikan dan pengembangan diri tanpa harus khawatir tentang kehamilan yang tidak diinginkan. Ini dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun