Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mas Nadiem, Ditunggu Kebijakan "Merdeka Riset"

7 Mei 2021   15:33 Diperbarui: 9 Mei 2021   20:46 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbudristek RI Nadiem Makarim (Sumber: Kompas.com/ WAHYU PUTRO A)

"Saya menginginkan sebanyak mungkin murid-murid kita, mahasiswa kita, dan dosen-dosen kita melakukan penelitian dan melakukan program-program seperti Kampus Merdeka di dalam badan-badan di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN )." - Nadiem Makarim, Menteri Dikbudristek [1]

Ujaran perdana Mas Nadiem, seusai dilantik presiden menjadi Mendikbudristek pada hari Rabu 28 April 2021, itu mengukuhkan kerisauan saya tentang kegiatan riset yang elitis di Indonesia. Mahasiswa, dosen, kampus, dan BRIN adalah representasi dari elitisme riset.

Selain berdasar pengamatan, simpulan elitisme riset itu bersumber pada pengalaman pribadi sebagai pelaku riset selama 35 tahun terakhir.  

Saya beruntung pernah menjadi periset di berbagai institusi.  Mulai dari perguruan tinggi (pertanian), kerjasama riset dengan kementerian (pertanian, sosial), kerjasama riset dengan lembaga riset internasional (kehutanan, lingkungan), memimpin divisi riset sebuah perusahaan BUMN (pertanian), sampai kini menjadi seorang periset independen. 

Saya akan jelaskan simpulan itu secara  singkat. Sebagai dasar untuk mengusulkan kebijakan "riset merdeka" di Indonesia.

Elitisme Riset 

Penilaian saya tentang elitisme riset itu merujuk pada dua gejala sosial riset di Indonesia kini. Pertama, kegiatan riset  hanya diakui jika itu dilakukan oleh lembaga riset resmi, pemerintah maupun swasta (non-pemerintah), dan dikerjakan oleh para  periset formal-profesional. 

Lembaga riset yang saya maksud meliputi badan pemerintah dan non-pemerintah. Badan pemerintah antara lain PTN, LIPI, BPPT, Batan, Puspitek, dan Balitbang Kementerian. Sedangkan non-pemerintah antara lain Divisi Litbang Perusahaan dan Lembaga Riset Swasta semacam CSIS, SMERU, dan CIPS. 

Sejauh ini proyek-proyek penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu berorientasi pada kepentingan lembaga itu sendiri dan penelitinya . Bukan pada kepentingan ril masyarakat.

Di Perguruan Tinggi misalnya  orientasi, tema, dan subyek penelitian sudah ditentukan dari atas. Itu ditetapkan oleh Kemendikbud dan Kemenristek selaku pendana.  

Jelas riset itu berorientasi pada pemenuhan kepentingan pemerintah, semisal justifikasi dan rekomendasi kebijakan dan program pembangunan. Termasuk, tentu saja, di situ kepentingan Perguruan Tinggi itu sendiri untuk, misalnya,  menjadi "universitas riset" kelas dunia

Lembaga riset di kementerian juga begitu. Orientasi riset Balitbang Pertanian (Balitbangtan) misalnya adalah penguatan kebijakan dan program pembangunan pertanian. Bukan berorientasi langsung pada kepentingan ril petani di lapangan. 

Jika proposal riset tak mendukung kebijakan Kementan, maka jangan harap akan dibiayai. Riset terapan dan evaluatif lebih diutamakan.

Badan riset perusahaan setali tiga uang. Kegiatan risetnya mutlak  berorientasi pada kepentingan perusahaan Misalnya inovasi produk atau teknik baru, peningkatan produktivitas dan ekspansi pasar. Lazimnya fokus pada riset inovasi, baik terapan maupun eksperimental.

Dari contoh-contoh itu, jelas elitisme riset menunjuk pada status pelaksana,  proses pelaksanaan, dan pemanfaatan hasilnya.  

Pelaksananya adalah lembaga riset dan peneliti formal-profesional berciri elitisme.   Lembaga riset harus terakreditasi, atau tersertifikasi.  

Periset juga harus kompeten, mempersyaratkan pendidikan sarjana dan penguasaan khusus metodologi riset. Ada sembilan jenjang kompetensinya, mulai dari Asisten Peneliti Muda (semacam kopral) sampai Ahli Peneliti Utama (semacam jenderal). [2]

Proses pelaksanaannya juga elitis.  Harus menggunakan metode penelitian yang diterima secara umum.  Lazimnya metode positivistik, terutama metode kuantitatif survei dan eksperimental.  Kalau tak menggunakan metode konvensional, atau arus-utama, hasilnya akan sangat sulit diterima.

Pemanfaatan hasil riset juga elitis.  Lebih untuk pemenuhan kepentingan pemerintah (birokrasi), pengusaha (perusahaan), dan organisasi madani. Tidak untuk kepentingan masyarakat secara langsung.  

Memang ada yang disebarluaskan ke masyarakat, misalnya benih unggul padi.  Tapi itu dalam rangka kebijakan dan program pembangunan pertanian.

Riset-Riset Anarkis 

Karakter elitisme riset di Indonesia tak memberi tempat sebagai subyek kepada masyarakat.  Dari dulu sampai sekarang masyarakat lebih sebagai obyek riset dalam dua segi.  Pertama, sebagai sumber data semata dan, kedua,  sebagai target pasar (konsumen) hasil riset berupa inovasi produk komersil.

Dalam kenyataan, terlalu banyak hasil riset di Indonesia yang tak berdampak langsung pada peningkatan kemaslahan masyarakat.  Sebagian besar berhenti pada laporan, makalah seminar, dan artikel di jurnal ilmiah.  Itu bisa melambungkan status lembaga riset dan periset pada tataran "kelas dunia".  

Sebagian lagi hasil penelitian tiba di tengah masyarakat dalam bentuk produk inovatif komersil. Harus dibeli, semisal pupuk kimia, pestisida, benih unggul, mesin pertanian, dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang menangguk laba adalah lembaga riset dan penguasaha.

Sudah sejak lama lembaga riset dan para periset mengklaim diri sebagai Baconian, penganut mashab "sains untuk kemaslahatan masyarakat." Tapi dalam prakteknya kini, justru mundur lebih jauh ke belakang, ke mashab Aristotelian, "sains demi lembaga sains dan saintis."   Lembaga riset kita kini tetaplah sebagai "menara gading."

Sementara itu terjadi pengingkaran terhadap gejala sosial riset otonom di akar rumput.  Prinsipnya, "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat."  Gejala ini luas teramati dalam masyarakat petani, sebagai bentuk perlawanan kepada lembaga-lembaga riset resmi.  Atau, setidaknya, sebagai manifestasi kataksabaran kepada lembaga riset pertanian pemerintah dan swasta.

Kiprah riset otonom  Joharipin (45), petani asal Desa Jengkok,  Kertasemaya Indramayu, merupakan contoh yang baik.  Kesal menunggu varietas padi tahan salinitas (kegaraman) yang tak kunjung ada, secara otodidak sejak tahun 2004 dia melakukan perakitan varietas sendiri.  

Dengan mengggunakan metode sendiri, disebutnya Metode Johar, dia melakukan persilangan varietas-varietas lokal dan publik dan telah menghasilkan 10 varietas padi tahan salinitas.  Karena tidak ada pelepasan dan sertifikasi dari Kementan, benih padi unggul temuannya itu hanya boleh "diperjual-belikan" dalam jaringan organisasi petani. [3]

Komersialisasi benih yang belum dilepas dan disertifikasi oleh Kementan bisa mengantar penemunya ke penjara.  Hal itu terjadi pada Munirwan, petani Aceh, perakit padi tadah hujan varietas IF8 tahan tikus.  Karena mengedarkan benih padi IF8 yang belum dilepas, dia dituduh melanggar ketentuan UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.  Petani periset otodidak itu kemudian harus berurusan dengan aparat hukum. [4]

Di pedesaan, banyak petani periset otodidak, dengan metode sendiri yang bersifat anarkis, seperti Jaharipin dan Munirwan. Mereka menemukan banyak varietas benih, pupuk organik dan biotik, pestisida organik dan biotik, metode olah tanah, metode tanam, dan lain sebagainya.  Temuan-temuan riset otodidak itu bersifat terapan, langsung memenuhi kepentingan atau kebutuhan petani di lapangan.

Masalahnya, temuan-temuan riset otodidak, yang menggunakan "metode sendiri", itu tak mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga riset formal, seperti Perguruan Tinggi, Balitbangtan, LIPI, dan BPPT.  Alasannya, petani periset itu bukan periset formal-profesional dan metode risetnya tidak menggunakan metode baku.  

"Metode sendiri" yang diterapkan petani dinilai tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara saintifik. Karena itu hasilnya, temuan-temuan petani itu, tak dapat diterima sebagai "kebenaran" dan tidak boleh disebarluaskan kepada masyarakat. Itulah dampak negatif dari elitisme riset di Indonesia.  Menolak hasil riset anarkis yang sudah telak-telak bermanfaat bagi masyarakat.

Kebijakan "Merdeka Riset"

Konflik antara lembaga riset formal yang elitis dan petani periset otodidak itu menunjuk pada konflik antara metode konvensional (Francis Bacon) dan metode anarkis (Paul Feyerabend). Lembaga riset dan periset formal-ptofesional yang elitis itu berpegang teguh pada Bacon. Sementara para petani periset, dan warga biasa lainnya, tanpa sadar adalah penganut paham anarkisme metodologi ala Feyerabend.

Kata Feyerabend, metode apa saja boleh, asalkan logis dan etis, dan berujung pada suatu temuan yang bermanfaat, dan karena itu benar.  Petani seperti Joharipin, Munirwan, dan lain-lain ada di posisi itu. Tapi mereka tak diakui karena lembaga riset dan periset kita adalah penganut paham Baconian.

Periset otodidak, yang melakukan riset secara otonom dengan cara atau metode sendiri, adalah potensi kemajuan bangsa yang selama ini tidak diakui oleh pemerintah.  

Sekalipun hasil riset mereka terbukti bagus, birokrasi akan menghadangnya, karena dikhawatirkan akan mendisrupsi hasil-hasil riset formal konvensional.  Benih padi IF 8 misalnya dikhawatirkan mendisrupsi pasar benih padi varietas publik keluaran kementan seperti Inpago.

Kalau mau melihat kasus yang lebih besar, persoalan riset Vaksin Nusantara  yang digagas dr. Terawan dan riset Vaksin Merah Putih  yang digagas Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 BPPT, bisa diletakkan dalam konteks konflik semacam itu. Vaksin Nusantara adalah representasi metode anarkis Feyerabend dan Vaksin Merah Putih representasi metode konvensional Baconian, yang diusung BPOM.

Sebuah pertanyaan kini bisa diajukan kepada Mas Menteri Nadiem, "Apakah kebijakan riset atau ristek Indonesia ke depan akan melestarikan karakter elitisme?"  Saya berharap jawabnya, "Tidak!"  Elitisme riset membawa kerugian besar bagi bangsa ini, karena pengingkaran terhadap potensi riset otonom, otodidak, dan anarkis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Padahal hasil-hasil riset mereka sudah terbukti membawa kemaslahatan untuk masyarakat akar rumput.

Karena itu, saya  sungguh berharap Mas Menteri Nadiem mempertimbangkan suatu kebijakan "Merdeka Riset."  Kebijakan itu tak hanya memberi ruang kepada lembaga dan periset formal-profesional. Tapi juga memberi dan mengembangkan ruang kiprah untuk para periset otonom, independen, yang melakukan riset tepat-guna dengan cara anarkis.

Kebijakan "Merdeka Riset" itu mesti menghilangkan karakter top-down dalam dunia riset Indonesia. Riset-riset independen yang merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah atau kebijakan makro juga diberi ruang tumbuh-kembang. Misalnya, riset pertanian alami harus diberi ruang hidup untuk mengritik dominasi riset pertanian modern yang mengagungkan teknologi kimia/biokimia sebagai contoh.

Dengan suatu kebijakan "Merdeka Riset", Kemendikbudristek diharapkan dapat mengkoordinasi dan meningkatkan potensi periset independen dalam masyarakat.  Sebab kehadiran dan kiprah mereka adalah modal sosial sangat besar untuk mendukung pembangunan.  "Merdeka Riset" dengan begitu adalah suatu kebijakan terobosan untuk memajukan bangsa dan negara. 

Setelah "Merdeka Belajar", saatnya untuk "Merdeka Riset."(efte).

Rujukan:

[1] "Dilantik Jadi Mendikbud-Ristek, Nadiem: Riset dan Teknologi Sangat Dekat di Hati Saya," kompas.com. 28/04/2021

[2] "Mengenai Jabatan Fungsional Peneliti," lipi.go.id

[3]  "Kisah Petani Indramayu, Ciptakan Benih Padi Lokal yang Tahan Gangguan Hama," kumparan.com, 17/01/2021

[4]  "Kriminalisasi Petani Aceh, Buntut Inovasi Benih Padi Jokowi," cnnindonesia.com, 03/08/2019              

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun