Poltak mengambil nafas. Guru Gayus tersenyum. Anak-anak lain menyimak dengan ekspresi takjub. Polmer apa lagi, terpana melotot, mengingatkan Poltak pada sesuatu.
"Ada lagi, Gurunami. Mawas. Besar, muka lebar. Macam Polmer ..." Â Sebuah tinju keras di lengan kanan Poltak memutus cerita. Polmer siap dengan tinju kedua. Sepasang ingusnya mulai mengintip di dari lubang hidung.
"Gaya gulatnya, Polmer. Gaya gulatmu macam gaya gulat mawas. Hebat kau." Polmer surut dengan senyum mengembang. Â Sepasang ingusnya menghilang tersedot ke dalam rongga hidung.
"Apakah harimau itu mengaum, Poltak?" Berta bertanya penuh minat.
"Waktu aku di depan kandangnya, dia membisu. Setelah aku pergi, barulah dia mengaum."
Berta takjub. Dia pikir Poltak pasti punya ilmu limun, melinglungkan binatang buas dan orang jahat.
"Jadi, kau tak betul menunggang harimau dan memeluk beruang, kan, Poltak?" Jonder menyidik, tak percaya.
"Oh, itu betul."
"Hah?" Mulut murid-murid kelas dua ternganga. Tak percaya.
"Ceritakan, Poltak." Guru Gayus menyemangati. Masih tetap tersenyum.
"Betul, Gurunami. Aku tak bohonglah. Di kebun binatang itu ada museum. Di dalamnya ada macam-macam. Ada rangka binatang. Ada juga binatang awetan."