Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kejujuran dalam Seteguk Tuak

27 Oktober 2020   19:39 Diperbarui: 31 Oktober 2020   19:46 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi desa asli di Ende, Flores (Foto: mongabay.co.id)

Suatu ketika di Aebara, di teduh pedalaman Pulau Bunga. Aku duduk sila di tengah jembar rumah adat. Berbalutkan sarung ikat. Santun di hadapan para mosalaki, riabewa, bogehage. Takzim di depan guci pusaka.

Pane hibi, pane nasi, pane daging, pane air, pane tuak. Diedarkan berputar seruangan. Sejumput hibi, sesuap nasi, sejimpit daging, seteguk air, ditutup seteguk tuak. Semua makan, semua minum, bersama dari satu pane. Sama rata, sama rasa. Aku menjadi mereka, mereka menjadi aku, semua menjadi kami.

Kini tada lagi rahasia di antara kami. Tuturan adat mengalir deras. Tentang asal usul, religi dan hukum, tata dan kuasa. Tentang tanah, air, tanaman dan ternak. Tiada lagi yang tersembunyi setelah seteguk tuak. Sebab tiada lagi mereka, tiada lagi aku, hanya ada kami. 

Seteguk tuak melarutkan mereka dan aku menjadi satu kami. Lalu tiada lagi dusta di antara kami. Hanya ada keterbukaan, kejujuran lalu kebenaran. Seteguk tuak telah mengaliri pembuluh darah, membuka segala sumbat di hati dan di benak kami.

Suatu ketika di Aebara, di teduh pedalaman Pulau Bunga. Ada kejujuran yang indah dalam seteguk tuak. Sebab dilarutkannya kami dalam satu rasa setanahair, sebangsa, dan sebahasa. Seteguk tuak tak pernah bohong.(*)

*)Puisi ini ditulis berdasar pengalaman nyata tahun 1991 di sebuah desa di pedalaman Ende, Flores. Dipersembahkan kepada masyarakat hukum adat yang menghargai tuak sebagai simbol persatuan dan kesatuan.

**)Kosakata Ende Lio:/pa.ne/: pinggan kayu berkaki, piala kayu;/hi.bi/: emping beras; /mo.sa.la.ki/: raja adat; /ri.a.be.wa/: hulubalang;/bo.ge.ha.ge/: kerabat mosalaki dan riabewa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun