"Roh penjaga lesung minta tumbal." Â Demikian tersiar kepada khalayak, termasuk anak-anak, sebagai penjelasan untuk kejadian-kejadian nahas itu.
"Poltak! Jaga adikmu itu!" Nenek Poltak berteriak mengingatkan, di tengah dentum alu bertalu-talu menghajar ceruk lumpang. Â
Nenek Poltak harus bekerja dengan presisi tinggi. Menyiduk gabah lepas kulit dari ceruk lumpang perlu ketepatan waktu. Kalau tidak, jari atau telapak tangan bisa ikut lepas kulitnya. Â
"Bang Poltak, lihat sini! Â Bagus kali ini!" Â Benget memanggil Poltak ke beton dudukan as lesung. Â Poltak mendekat.
"Ini bagus. Berkilau!" kata Benget, sambil jari-jarinya meraba sumbu besi di ujung as lesung yang berputar pada dudukannya. Â Sumbu besi itu berkilauan diterpa cahaya obor. Â
Sensasi geli pada ujung jari yang ditimbulkan putaran sumbu besi itu rupanya membuat Benget kecanduan menyentuhnya. Â
"Jangan, Benget. Â Bahaya itu!" Â Poltak berteriak mengingatkan. Â
Ada rasa cemas di hati Poltak. Â Sepengetahuannya, tahun ini Losung Aek belum makan tumbal. Â Harus hati-hati. Jangan sampai jadi korban.
"Bang! Bang Poltak! Tolong! Tolong!" Â Tiba-tiba Benget menjerit keras, minta tolong. Â
Poltak tersentak kaget. Â Spontan merapat, melihat apa yang menimpa adiknya. Â
Celaka. Â Benget dalam bahaya besar. Â Dia menjerit ketakutan. Mukanya pias. (Bersambung)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â