Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #010] Losung Aek Angker

21 September 2020   14:47 Diperbarui: 21 September 2020   18:32 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain Sampul: Felix Tani; Foto: Erabaru.com

Dia terseok di belakang neneknya yang menyunggi sekarung besar gabah dan adiknya yang melenggang tanpa beban.  

Tekanan seperempat kuintal gabah di kepalanya membuat leher Poltak terasa sakit. Dia harus menahannya.  Sambil berpikir, "Inilah sebabnya mengapa saya tidak tumbuh tinggi seperti Binsar."

Poltak heran bagaimana bisa neneknya jalan melenggang seolah setengah kuintal gabah di kepalanya itu tak lebih dari segumpal sanggul. 

Ah, Poltak, dasar anak kecil.  Dia tidak tahu, di bawah panji patriarki,  perempuan Batak telah dilatih untuk menanggung segala beban. Khususnya suami, yang terberat dari segalanya.

Setelah sekitar empat puluh menit perjalanan, lewat jalan raya Trans-Sumatera ke selatan, membelah kampung Toruan, lalu menuruni jurang, akhirnya tiba juga rombongan kecil itu di Losung Aek.

Losung Aek itu sarana komunal. Semua warga Panatapan dan Toruan, serta Sosorlatong di selatannya, berhak menggunakannya.  Untuk keperluan pemeliharaan, pengguna akan menyisihkan beras sebagai imbal jasa.  Jumlahnya antara setengah sampai satu liter.

Rumah lesung itu, terbuat dari kayu dengan atap seng, dibangun di tengah persawahan. Sebagian debit air irigasi yang bersumber dari hutan Gunung Simarnaung dialihkan untuk memutar kincirnya.  

Teknologinya sederhana.  Sumbu kincir itu adalah ujung as balok bulat besar  yang dipasangi enam pasak selang-seling.  Saat kincir berputar, enam pasak as itu secara bergantian akan mengangkat dan menjatuhkan enam alu kayu besar berpasak.  Dengan cara itu, alu akan menumbuk gabah pada ceruk lumpang semen di bawahnya.    

"Kalau mau tidur lagi, sana, naik ke para-para." Nenek Poltak menyarankan kedua cucunya untuk tidur lagi. Dia mulai sibuk menumbuk gabah.  

Itu saran yang sia-sia.  Suasana Losung Aek yang agak mistis membuat Poltak dan Benget tak berani memicingkan mata barang sekejap pun.  Gerak nyala sejumlah obor penerang di dinding bangunan lesung menghasilkan tarian bayang-bayang hitam yang kadang bentuknya menyeramkan.  

Sudah menjadi rahasia umum, Losung Aek itu dianggap angker.  Setiap tahun ada saja yang celaka di situ.  Entah itu jari atau telapak tangan pengguna yang remuk ditimpa alu.  Atau tangan patah dihajar tuas alu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun