Maka jadilah seperti itu. Setahun kemudian lahirlah Benget. Â Karena dirasa kurang ramai, ditambahlah dua orang anak lagi: Tiurma, anak perempuan dan Sahat, anak laki-laki. Â Semudah itulah hidup.
Poltak masih meringkuk di ranjang. Â Rasa malas menjalari seluruh otot dan sendinya. Â Tambahan, sakit giginya kambuh pula. Â
"Ayo, Poltak! Â Ayam saja sudah bangun!" Â Kakek Poltak berteriak dari dapur. Â
"Iya, ompung," Â Poltak melompat dari ranjang. Terkantuk-kantuk, sambil memegangi pipi kirinya yang terasa bengkak karena sakit gigi, dia melangkah ke dapur. Â
Di depan perapian, kakek, nenek dan Benget sedang berdiang. Â Berada pada ketinggian 1,200 meter di atas permukaan laut, suhu udara Panatapan sangat dingin. Â Berdiang adalah solusinya.
"Kumat lagi sakit gigimu, ya," tanya neneknya. Poltak mengangguk, dengan mimik kesakitan.
"Sudahlah. Â Jangan jadi alasan. Â Kau berjalan pakai kaki, bukan gigi," tukas kakeknya. Â Poltak mati kutu.
"Ayo, berangkat. Â Keburu pagi." Â Nenek Poltak mengajak Poltak dan Benget pergi. Â Kakek Poltak tinggal di rumah.
Udara di luar rumah lebih dingin lagi, tinggalan hujan tadi malam. Â Gigi Poltak gemerutuk, menambah rasa sakit, walau tak dipakai untuk jalan.
"Enak benar menjadi kakek," sungut Poltak dalam hati. Â "Tak perlu ikut menyunggi gabah ke Losung Aek."
Jarak Panatapan ke Losung Aek sekitar dua kilometer. Â Menyunggi sekarung kecil gabah, sekitar 25 kilogram di atas kepala, jarak itu adalah derita panjang untuk Poltak. Â