Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #004] Solidaritas Si Berang-berang

8 September 2020   05:00 Diperbarui: 8 September 2020   17:47 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dusain sampul oleh Felix Tani. Foto dari Erabaru.com

Kalau kamu seekor ikan di Panatapan, kamu harus mewaspadai Poltak.  Jangan pernah menampakkan dirimu kepadanya.  Apa lagi sampai melompat genit ke atas permukaan air.  Tamat riwayatmu.

Tapi kamu pasti bukan seekor ikan.  Sehingga tak ada alasan mewaspadai Poltak.  

Aman.  Kecuali kamu menganggap dirimu seekor ikan yang melihat Poltak sebagai seekor berang-berang.

Ya, Si Berang-berang.  Itu julukan lain untuk Poltak. Disematkan oleh teman-temannya, juga warga dewasa, di Panatapan.  

Itu karena keahliannya yang luar biasa dalam menangkap ikan di sungai dan rawa. Juga karena keahliannya mengenali lubuk yang sarat ikan.  

Warga Panatapan selalu cemas kalau Poltak lewat di pematang tebat mereka.  Khawatir tiba-tiba tangan Poltak masuk ke dalam air lalu, pas diangkat, sudah mencekal seekor ikan.

Dengan keahlian seperti itu, boleh dikata, Poltak sebenarnya sudah lulus tes copet. Sayang, dia masih terlaluh jauh di bawah umur.

Julukan Si Berang-berang itu didapatkan Poltak sewaktu dia bersama Binsar dan Bistok, juga beberapa anak muda dan orang tua dari Panatapan, suatu hari pergi memancing ikan ke Peanadua.  

Peanadua itu adalah sebidang rawa dengan sejumlah lubuk yang dihuni ikan lele dan gabus.  Tempatnya jauh di tengah hamparan hutan pinus milik Jawatan Kehutanan di sebelah barat kampung.

Hampir satu jam memancing tanpa hasil, Poltak mengambil jalan pintas.  Dia lepas baju dan celananya. Lalu telanjang bulat terjun menyelam ke dalam lubuk.

Saat muncul kembali di permukaan, eh, dia sudah mencekal dua ekor ikan lele.  Satu di tangan kiri, satu lagi di tangan kanan.

Rupanya, Poltak menyelam dan merogoh lubang-lubang sarang ikan di dinding lubuk.  Dengan cara itu, dia berhasil menangkap tujuh ekor lele dan tiga ekor gabus.  Tangkapan luar biasa untuk seorang anak usia lima tahunan.  

"Bah, macam berang-berang saja kau, Poltak," teriak Binsar dan Bistok.  Sejak itu Poltak dijuluki Si Berang-berang.  Julukan yang layak dan sepantasnya.

Bagi Poltak, menjadi "berang-berang" lebih banyak untungnya ketimbang ruginya.  Untungnya, cepat dapat ikan banyak.  Ruginya, ya, sesial-sialnya pelir si Poltak disengat lintah rawa.  Itu biasalah.

Paling senang, sudah pasti kakek dan dan nenek Poltak.  Mereka menjadi lebih sering makan ikan segar.  Hasil tangkapan Poltak.  Entah dari sungai, rawa, atau tebat yang dipanen pemiliknya. 

Dengan begitu, frekuensi makan ikan asin ataupun "ikan sampah", ikan-ikan kecil hasil sortiran,  bisa dikurangi.

"Poltak!  Ayo, ikut panen ikan!  Ama Ringkot panen ikan di tebatnya!"  Binsar berteriak mengajak Poltak.

"Sekarang?"  Poltak menyahut dari atas pohon jambu biji.  

Sambil duduk di dahan, macam anak beruk, dia sedang menggerogoti buah jambu mengkal.  Begitu cara anak kampung Panatapan mencukupi asupan vitamin C.

"Tahun Baru nanti! Iyalah, sekarang.  Kita ajak Si Bistok sekalian."

Tradisi panen ikan di Panatapan adalah panggung solidaritas.  Pemilik tebat menyampaikan undangan lisan terbuka kepada warga kampung untuk ikut memanen ikan.   

Nantinya,  warga mendapat imbalan beberapa ekor ikan mas, jenis ikan utama yang dipelihara.  Jenis ikan lainnya seperti lele, gabus, dan pora-pora, boleh langsung diambil untuk diri sendiri.

Ama Ringkot memanen ikan masnya sore itu, Jumat. Besoknya, Sabtu, akan dijual ke Pasar Tigaraja, Parapat.  

Begitu tiba di tebat Ama Ringkot, di tengah areal persawahan,  Poltak, Binsar dan Bistok langsung terjun ke dalam lumpur.  Ikut berkubang bersama belasan warga lain yang ikut memanen ikan.  

Berang-berang itu, ikan di air dalam saja bisa ditangkapnya, apalagi ikan yang sudah menggelepar di air dangkal.

Begitulah.  Poltak, Si Berang-berang dari Kampung Panatapan itu dengan mudah menangkapi ikan dan memasukkannya ke dalam ember.  

Selain itu, Poltak juga sukses menangkap ikan-ikan lele, gabus dan pora-pora untuk dirinya sendiri.

Tangkapan Binsar pun lumayanlah. Meski, tentu saja, kalah lumayan jauh dibanding Poltak.

Tapi malanglah nasib Si Bistok.  Pasalnya, Bistok ini tipe anak petani yang seolah terpacak, susah gerak, setiap kali masuk ke lumpur sawah.  

Kata bapaknya, Ama ni Basaria, itu akibat telapak kakinya terlalu lebar seperti tampah.  Entahlah. Orangtua selalu punya alasan untuk membela anaknya.

Dengan kondisi seperti itu, sangat sulit bagi Bistok mengejar ikan mas.  Jangan kata ikan gabus dan pora-pora yang ligat geraknya.  

Langkahnya berat, kakinya mengangkat banyak lumpur, sehingga gerakannya seolah sedang membajak sawah.  

Sebenarnya, sedikit atau banyak jumlah tangkapan, tetap saja akan mendapat imbalan ikan dari pemilik tebat.  Rame-rame panen ikan itu lebih sebagai bentuk solidaritas. Saling berbagi sedikit rejeki antar warga kampung.

"Malulah aku, Poltak.  Tak bisa tangkap ikan, tapi nanti diberi ikan juga sama Amangtua."  Bistok memelas.  

Ama Ringkot itu terbilang amangtua Bistok, abang bapaknya, walau bukan saudara sekandung.

Poltak, Si Berang-berang, jatuh iba pada Bistok, temannya itu.  Tak sampai hati dia melihat wajah Bistok memelas macam beruk berduka.

"Sini embermu, Bistok."  Poltak meminta ember Bistok.  Lalu dengan cepat memindahkan sejumlah ikan mas dari embernya ke ember milik Bistok.  

"Ini ikan tangkapanmu," kata Poltak sambil mengangsurkan kembali ember kepada Bistok.

"Mauliate ma, Poltak," balas Bistok dengan senyum lebar, selebar telapak kakinya, mungkin.

Panen usai. Semua ikan mas sudah terkumpul. Ama Ringkot membagi-bagikan imbalan ikan mas kepada warga yang ikut membantunya.  

Hitungannya tiga sampai empat ekor per keluarga. Tergantung jumlah tangkapan dan ukuran keluarga. Ama Ringkot sudah hafal rumus pembagian itu.

Poltak, Binsar, dan Bistok masing-masing memperoleh tiga ekor ikan mas besar untuk dibawa pulang.  

Karena kakek Poltak adalah tetua kampung, maka ada tambahan satu ekor lagi untuk Poltak, sehingga semua empat ekor.  Ditambah lele, gabus dan pora-pora, ikan perolehan Poltak lumayan banyak juga.

"Bistok. Ini ambil seekor lele untuk Ompung, ya?" Poltak memberikan seekor lele kepada Bistok.  

Poltak tahu benar lele tombur, dibakar dengan bumbu kemiri, cabe hijau, dan andaliman, adalah idaman setiap lelaki tua di Panatapan.  Termasuk Ama ni Basaria, bapak Si Bistok, yang masih terbilang ompung untuknya.

Sekali lagi, senyum Bistok mengembang lebar, selebar telapak kakinya.  

Tiga sekawan itu, Poltak, Binsar, Bistok, melangjah pulang. Beriringan meniti pematang sawah.  

Langit di ufuk barat sudah memerah, semburat lembayung tipis.  Matahari siap berangkat ke peraduan.

Bistok dan Binsar sibuk berceloteh.  Poltak tidak hirau.  Di benaknya hanya ada bayangan ikan mas dan lele tombur.  

Nenek Poltak memang sudah menunggu.  Bumbu tombur yang sedap itu sudah disiapkan. (Bersambung)  
 
 
 
 
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun