Ama Ringkot memanen ikan masnya sore itu, Jumat. Besoknya, Sabtu, akan dijual ke Pasar Tigaraja, Parapat. Â
Begitu tiba di tebat Ama Ringkot, di tengah areal persawahan, Â Poltak, Binsar dan Bistok langsung terjun ke dalam lumpur. Â Ikut berkubang bersama belasan warga lain yang ikut memanen ikan. Â
Berang-berang itu, ikan di air dalam saja bisa ditangkapnya, apalagi ikan yang sudah menggelepar di air dangkal.
Begitulah. Â Poltak, Si Berang-berang dari Kampung Panatapan itu dengan mudah menangkapi ikan dan memasukkannya ke dalam ember. Â
Selain itu, Poltak juga sukses menangkap ikan-ikan lele, gabus dan pora-pora untuk dirinya sendiri.
Tangkapan Binsar pun lumayanlah. Meski, tentu saja, kalah lumayan jauh dibanding Poltak.
Tapi malanglah nasib Si Bistok. Â Pasalnya, Bistok ini tipe anak petani yang seolah terpacak, susah gerak, setiap kali masuk ke lumpur sawah. Â
Kata bapaknya, Ama ni Basaria, itu akibat telapak kakinya terlalu lebar seperti tampah. Â Entahlah. Orangtua selalu punya alasan untuk membela anaknya.
Dengan kondisi seperti itu, sangat sulit bagi Bistok mengejar ikan mas. Â Jangan kata ikan gabus dan pora-pora yang ligat geraknya. Â
Langkahnya berat, kakinya mengangkat banyak lumpur, sehingga gerakannya seolah sedang membajak sawah. Â
Sebenarnya, sedikit atau banyak jumlah tangkapan, tetap saja akan mendapat imbalan ikan dari pemilik tebat. Â Rame-rame panen ikan itu lebih sebagai bentuk solidaritas. Saling berbagi sedikit rejeki antar warga kampung.