Bagus? Relatif, subyektif. Lukisan Poltak sebenarnya mirip-mirip lukisan di gua-gua kediaman manusia prasejarah.
Tak ada yang abadi di halaman rumah. Demikianlah, Â lukisan Poltak selalu berumur pendek.Â
Ada tiga kekuatan besar yang  kuasa menghapus lukisan di atas  halaman tanah.
Curah hujan. Itu yang pertama. Genangan air hujan akan menutup semua goresan lukisan. Lenyap.
Poltak, sejujurnya, Â suka ulah hujan itu. Â Karena menghasilkan kanvas tanah berpasir baru yang mulus. Siap untuk dilukisi kembali.
Kaki-kaki kotor kerbau yang lewat di depan rumah. Ini yang kedua. Â Â
Itu terjadi sore hari. Di saat para tetangga menuntun kerbaunya melewati halaman rumah kakek Poltak. Â
Kerbau adalah kerbau. Meski dia simbol kebijaksanaan, tetap saja tak bisa mengapresiasi karya lukis. Â
Kerbau-kerbau melangkah santai. Menginjak-injak lukisan Poltak tanpa rasa bersalah.
Poltak paling benci ulah para kerbau ini. Â Apalagi kalau sampai berak. Â Lalu tahi tart hijaunya jatuh nemplok persis di gambar wajah Poltak. Â
Kekuatan ketiga, nenek Poltak dengan sapunya. Terjadi saat Poltak terlalu asyik melukis. Sampai-sampai kelupaan menjemput kerbau di padang penggembalaan.