Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Anies Kritik Jokowi, Anies Tak Ditangkap

31 Mei 2019   11:33 Diperbarui: 31 Mei 2019   11:50 2922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan saat peresmian pengoperasian MRT Jakarta (Foto: detik.com/Rengga Sancaya)

"Saya nggak pernah menangkap orang yang mengkritik saya."  Itu ujaran Anies Baswedan, Gubernur Jakarta 2017-2022 yang viral belakangan ini.

Ujaran itu dilontarkan ketika wartawan minta tanggapannya pada petisi agar Presiden Jokowi dan Mendagri Tjahyo Kumolo memecatnya sebagai Gubernur Jakarta.   Ujaran selengkapnya, ""Kalau ada yang mengkritik nggak usah ditangkep. Saya nggak pernah menangkap orang yang mengkritik saya. Sama sekali." ("Anies:  Saya Tak Tangkap Orang yang Kritik Saya", detik.com, 26/5/19).

Saya percaya ucapan Anies itu.  Setidaknya berdasar pengalaman pribadi.  Hampir semua artikel saya tentang Anies Baswedan di Kompasiana bermuatan kritik kepadanya.   Kritik terhadap kebijakan dan programnya pada status dan peran sosialnya selaku Gubernur Jakarta.

Mungkin orang bilang, "Oh ya, gak ditangkap.  Soalnya Anies gak baca kritik Anda padanya."   Oh ya?  Mungkin memang gak baca.  Tapi dengan satu dan lain cara, pasti sampai juga ke telinganya.

Bukan soal baca atau tidak baca, dengar atau tidak dengar kritik.   Tapi soal mutu kritik, khususnya substansi dan cara penyampaian.  

Jika substansinya menyangkut kebijakan dan program pembangunan (pemerintahan) maka hak kritik kita dijamin hukum.   Tapi tidak cukup soal substansi.  Caranya juga harus bisa dipertanggungjawabkan.  

Harus obyektif, berdasar fakta dan impersonal, bukan pada pribadi orang yang dikritik tapi pada posisinya sebagai pejabat.  Juga harus menghargai orang yang dikritik, dalam arti tidak merendahkan, menghina, atau mengancam jiwanya sebagai pejabat publik.

Anies juga mengritik Jokowi selaku Presiden RI.  Apakah Jokowi menangkap Anies?  Sama sekali tidak.

Masih ingat kritik Anies pada jargon "Saya Indonesia, Saya Pancasila" yang diperkenalkan Presiden Jokowi? Kata Anies itu kurang tepat.  "Kalau pakai kata 'saya", akan timbul pertanyaan, lalu Anda siapa?" katanya.  Menurut Anies yang tepat adalah "Kita Indonesia, Kita Pancasila".  Alasannya, "Kalau (pakai kata) 'kita', cenderung bersama-sama dan saling merangkul" ("Anies Kritik Kalimat 'Saya Indonesia Saya Pancasila'", kumparan.com, 3/6/2017).

Atau kritik pedas Anies pada Presiden Jokowi dalam kesempatan halalbihalal PP Muhammadiyah tahun 2018 lalu.  Katanya, "Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat adalah ketidakhadiran negara membela kepentingan rakyat. Demi menjaga marwah bangsa, mesti ada sikap berdaulat yang mendasar di dalam diri para pemimpin nasional dan rakyatnya." ("Di Depan JK, Anies Kritik Pemerintah Pusat Yang Tidak Maksimal Bekerja", rmoljakarta.com, 4/6/18).

Masih banyak kritik Anies kepada Jokowi selaku Presiden RI, baik eksplisit maupun implisit. Tapi tak satupun dari kritik itu menyebabkan Jokowi menangkap Anies. Alasannya karena Anies tidak mengritik atau menyerang Jokowi selaku pribadi, tetapi selaku sebagai Presiden RI.

Mungkin ada yang bilang, soalnya Anies membungkus kritiknya dalam bahasa dan kalimat yang santun. Jadi tidak menyinggung perasaan Jokowi.  Oh ya? Tahu Fadli Zon dan Fahri Hamzah, bukan? Tahu juga betapa vulgar dan kasar bahasa dan kalimat kritik mereka pada Presiden Jokowi, bukan?  Saya tak perlu kutipkan contoh kritiknya.   Saya hanya mau tanya, apakah Jokowi menangkap "duo kritikus" Fadli-Fahri?

Ujaran Anies,   "Saya nggak pernah menangkap orang yang mengkritik saya", itu sejatinya juga kritik implisit pada Jokowi.   Sebab ujaran itu tak ada relevansinya dengan petisi "Pecat Anies Baswedan".

Ahmad Riza Patria, Ketua DPP Gerindra yang mengeksplisitkannya.  Katanya, "Anies nggak pernah begitu. Emang Pak Jokowi, orang semua ditangkap-tangkapin, gitu loh. Bentar-bentar semua ditangkapin. Nggak boleh gitu." ("Gerindra Puji Anies Tak Tangkap Pengritik:  Emang Jokowi, Semua Ditangkap", detik.com, 27/5/19).

Entah siapa barisan "tukang kritik" yang telah ditangkap Jokowi.   Saya tidak pernah dengar, baca, atau tonton berita Jokowi memangkap seseorang karena telah mengritiknya.  Tapi saya tahu ada satu orang warga yang telah ditangkap karena mengancam akan menyembelih Jokowi dan seorang lagi karena mengancam akan membunuh Jokowi.   

Tidak perduli apapun motifnya, iseng numpang "bengkak" (sohor) atau serius, orang yang melontarkan ancaman pembunuhan kepada Presiden atau Kepala Negara memang harus ditangkap. 

Jadi, baik Anies Baswedan maupun Ahmad Riza Patria, telah menyatakan sesuatu yang tidak relevan.  Intinya, mereka berdua mau mengritik Pemerintahan Jokowi yang terkesan getol menangkapi oknum-oknum pendukung atau simpatisan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi.  Tanpa mengungkap jujur, bahwa mereka ditangkap bukan karena mengritik kebijakan dan program Presiden Jokowi.

Khusus tentang Anies, jika ada persoalan dengan kritiknya pada Jokowi, maka itu adalah soal etika.  Apakah seorang bawahan (Gubernur) pantas mengritik atasan (Presiden) secara terbuka di ruang publik. Saya jawab, "Tidak pantas."  Tapi Anies yang terkenal santun itu melakukannya, dan Jokowi tak menangkapnya karena itu.

Memang tidak ada kasus atasan menangkap bawahan yang mengritiknya. Yang ada atasan memecat bawahannya yang doyan mengritik, tapi tidak becus kerja.

Pernah dengar kisah Nasruddin Hoja yang dipecat dari jabatannya sebagai karyawan istana karena tidak becus kerja tapi doyan mengritik?   Suatu hari Raja mau keluar istana, lalu menyuruh Nasrudin keluar ke depan istana untuk memastikan apakah cuaca cerah atau hujan.  

Karena istana begitu luas dan jarak kamar Raja ke pintu depan sangat jauh, Nasruddin  bersungut-sungut mengritik Raja sebagai orang zalim.  Masa untuk memastikan cuaca saja harus menyiksa karyawan dengan jalan kaki jauh. 

Tapi Nasrudin mengritik Raja karena dia sebenarnya gak becus kerja. Malas jalan kaki.  Baru jalan beberapa langkah, tiba-tiba dia melihat kucing istana masuk kamar dalam kondisi basah kuyup. "Ahaa...!" serunya, lalu berbalik ke kamar Raja.  "Di luar hujan lebat, Baginda," lapornya.  Maka Raja pun mengenakan jas hujan lengkap dengan payungnya, dan berjalan ke luar istana.

Ternyata cuaca di luar sangat cerah.   Maka Raja murka dan lansung memecat Nasruddin sebagai karyawan Istana saat itu juga.  Tinggal Nasrudin mengutuki diri karena kesalahan sendiri.   Dia sadar pada akhirnya, bahwa tidak setiap kucing basah kuyup karena hujan.  Mungkin juga karena disiram koki istana, bukan?

Saya tidak ingin di Indonesia ada misalnya Menteri yang dipecat Presiden karena doyan mengritik tapi gak becus kerja.   Saya juga sungguh tidak menginginkan ada Gubernur di negera ini yang dipecat Presiden karena gemar mengritik tapi gak benar kerjanya.

Begitu saja catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, rajin mengritik Jokowi dan Anies dan rajin bekerja di sawah.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun