Lapangan besar di jantung Kerajaan Talasindra hari itu tak ubahnya lautan manusia. Panji-panji kerajaan berkibar. Genderang berbunyi. Tenda-tenda besar berdiri mengelilingi arena utama yang dilapisi batu marmer hitam mengilap. Di sanalah sayembara dakon terbesar dalam sejarah negeri akan digelar.
Roro Kecik berdiri gemetar. Diapit oleh Ki Wira, Simbok, dan para warga Desa Ngrandu yang sederhana. Matanya menatap penuh kagum dan gentar pada keagungan yang terpampang di hadapannya. Bangunan-bangunan tinggi berhias emas, prajurit-prajurit bersenjata rapi, dan pejabat-pejabat dengan jubah panjang bersulam benang perak.
> "Astaga..." bisiknya lirih. "Desa kita... seperti debu di hadapan dunia sebesar ini."
Namun yang paling mengguncang bukanlah bangunan atau prajurit. Melainkan para peserta lain: Saudagar-saudagar kaya dari selatan. Cendekiawan dari perguruan tinggi kerajaan. Anak-anak bangsawan yang dibesarkan dengan ilmu dan permainan istana. Mereka tinggi, besar, berwibawa. Mereka saling menatap tajam, penuh kepercayaan diri. Beberapa di antaranya bahkan sudah dikenal di seantero negeri.
Di tengah-tengah para raksasa itu, Roro Kecik hanyalah bayangan kecil, nyaris tak terlihat. Usianya tak lebih dari sepuluh. Tubuhnya kecil, kulitnya kecokelatan, dan rambutnya dikepang seadanya. Di punggungnya tergantung papan dakon dari kayu nangka tua. Di pinggangnya tergantung kantong kecil berisi biji-biji dakon dari batu kali.
Suaranya sempat tercekat.
> "Aku... tidak bisa... aku terlalu kecil..." gumamnya hampir tak terdengar.
Namun Ki Wira menunduk dan membisikkan kata yang membuat langit dalam hati gadis itu kembali terbuka:
> "Bukan besar tubuhmu yang penting, Nak. Tapi besar hatimu."
Simbok mengusap bahunya, mengangguk.