Jumat pagi, 11 Juli 2025, langit Bandar Lampung membentang biru terang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Udara hangat khas Juli menyambut langkah kami delapan sahabat---Citra, Lina, Pipit, Jihan, Fitria, Phia, Putri, dan Mala---yang telah lulus dari MTsN 1 Bandar Lampung pada tahun 2001.
Kami kini hidup dalam dunia yang berbeda: Lina mengajar Bahasa Inggris di Ponpes Darul Ma'arif, Ipit, Jihan, Citra, dan Mala menjalani peran mulia sebagai ibu rumah tangga, Fitria mendidik santri di Ponpes Al Fatah Natar, Phia berkutat dengan angka dan nasabah di Bank Lampung, sedangkan Putri mengabdi sebagai guru SD di Lampung Timur. Namun hari ini, kami kembali menyatu, dibawa oleh satu rasa: rindu.
Perjalanan hari itu dimulai dengan menjenguk Andre, sahabat kami yang tengah sakit. Udara dalam ruangannya tenang, sehingga detak jam dinding sangat nyaring terdengar di telinga. Tatapan Andre kini lebih segar, meski beberapa waktu lalu sempat kesulitan bangun dari tempat tidur karena sakit persendian. Kini, ia mulai pulih. Ia sudah bisa berjalan perlahan dan menghabiskan waktu di rumah serta di masjid lingkungan sekitar. Senyumnya mengembang saat bercerita tentang keinginannya mengendarai motor lagi—sudah tak sabar ingin nongkrong bersama teman-teman dan jalan-jalan ke mal seperti biasa.  Kami bergiliran menyisipkan doa, berharap ia segera sembuh seperti sedia kala.
Dari sana, kami melanjutkan langkah ke rumah Bu Menak Mahkota, guru Matematika kami yang telah pensiun dua tahun lalu. Aroma khas rumah lama menyambut kami---perpaduan kayu tua, teh manis hangat, dan lemari berisi buku pelajaran yang sudah menguning. Bu Menak, dengan rambut yang kini memutih sebagian, masih memancarkan aura ketegasan yang sama. "Ingat, siapa yang dulu takut sama Aljabar, geometri, persamaan linear, himpunan?" tanyanya, membuat kami tertawa geli sambil saling menuding.
Menjelang siang, kami duduk santai di Laid Back, sebuah kafe dengan interior kayu hangat dan aroma kopi Arabica yang menggoda. Tawa kami menyatu dengan musik akustik yang mengalun lembut. Cerita demi cerita mengalir deras---tentang cinta monyet di bangku SMP, guru favorit, dan kenangan lucu di kelas matematika dan bahasa Inggris.
Sebelum sore, kami sempatkan shalat di Masjid Al Muslimin, Way Sekampung, Pahoman. Lantai masjid dingin di telapak kaki, dan suara adzan menggema lembut di antara rimbunnya pepohonan di sekeliling masjid. Dalam sujud panjang, kami memanjatkan syukur atas persahabatan ini yang tak lekang oleh waktu.
Lalu, tibalah momen yang paling kami nantikan: mengunjungi kembali MTsN 1 Bandar Lampung. Udara di halaman sekolah membawa aroma khas pohon ketapang yang rimbun dan aspal yang menguapkan panas setelah terpapar sinar matahari. Di sekeliling halaman, tampak aneka tanaman dalam pot, besar dan kecil, tertata rapi—memberi kesegaran visual di tengah bangunan modern. Ada pula pohon Matoa yang mulai tumbuh dengan daun-daun mudanya yang hijau mengilat, seolah menyambut kami dengan semangat baru.Â