Mohon tunggu...
Mozzarella Najwa
Mozzarella Najwa Mohon Tunggu... Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Membaca membuatmu hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saudara yang Dipertanyakan: Cerita Muslim Tionghoa dan Islam Lokal di Tengah Luka Keragaman

23 Juli 2025   12:25 Diperbarui: 23 Juli 2025   20:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Muhammad Cheng Hoo.  (FOTO: Merah Putih) 

Wetu Telu bukan agama baru. Ia adalah jalan lama dalam memahami Islam secara kontekstual dan penuh kearifan lokal, semacam sesepen, yaitu ajaran yang butuh pemahaman mendalam dan perenungan. Meski tampil beda dalam ekspresi budaya, intinya tetap satu: tauhid, menyembah Allah SWT, serta menjaga harmoni dengan alam dan sesama manusia.

Lantas, apa akar terjadinya diskriminasi ini?

Diskriminasi terhadap Muslim minoritas seperti Tionghoa dan Wetu Telu sering kali tidak tampak mencolok. Ia hadir dalam bentuk yang halus dan sunyi, seperti tatapan curiga, bisik-bisik di belakang, penolakan yang tak diucapkan langsung. Luka-luka ini memang tak berdarah, tapi bisa membekas lama dalam hati mereka yang dianggap “berbeda”, bahkan di tengah sesama Muslim.

Penyebabnya pun beragam. Mulai dari cara pandang agama yang sempit, dakwah yang menolak percampuran budaya, hingga narasi tunggal tentang Islam yang seolah harus seragam. Padahal, sejarah Islam di Indonesia justru tumbuh subur karena bisa bersanding dengan budaya lokal, bukan menyingkirkannya.

Membuka Ruang Dialog, Bukan Perdebatan

Dari berbagai narasi ini, satu hal menjadi jelas: umat Islam di Indonesia masih perlu banyak belajar untuk saling mendengar. Bukan dari debat kitab, tapi dari cerita hidup. Ruang-ruang dialog bisa dimulai dari hal kecil, seperti sebuah undangan bercerita di pesantren, sebuah panggung diskusi di kampus, atau bahkan obrolan ringan di masjid. "Kami tidak ingin ditanya terus 'Kamu Muslim beneran?', tapi kami ingin didengar: bagaimana kami hidup sebagai Muslim di tengah tantangan," ungkap Abah Djoko, Ketua PITI Surabaya, dalam sebuah wawancara artikel “Jurnal Dakwah Tabligh". Kutipan ini menekankan pentingnya pengalaman personal sebagai jembatan pemahaman.

Organisasi Islam besar seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah telah memegang peran penting untuk membuat narasi Islam yang lebih ramah dan terbuka. NU, dengan ide Islam Nusantara-nya mendukung penyatuan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal. Buktinya, Islam di Indonesia bisa berkembang pesat karena beradaptasi dan tidak menyingkirkan tradisi lama.

Muhammadiyah, melalui berbagai program dakwah dan pendidikan, juga secara konsisten menyerukan moderasi beragama (wasatiyyah Islam), yang mendorong umat Islam untuk bersikap adil, seimbang, dan toleran, jauh dari ekstremisme. Pemikiran ini tercermin dalam dokumen-dokumen resmi dan fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang menekankan pada kontekstualisasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, perubahan juga bisa lahir dari komunitas kecil seperti Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan masjid-masjid komunitas. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya bukan hanya simbol arsitektur, tetapi juga pusat aktivitas yang mempromosikan dialog dan penerimaan. Kegiatan-kegiatan seperti kunjungan lintas agama, diskusi budaya, dan perayaan hari besar bersama, menjadi wadah konkret untuk mengikis stigma dan membangun empati. PITI, misalnya, memberikan santunan kepada 1000 anak yatim saat perayaan Imlek, mengundang masyarakat umum untuk mengenal lebih dekat identitas Muslim Tionghoa dan tradisi mereka, yang secara efektif membongkar prasangka dan membangun jembatan persahabatan.

Lebih lanjut, edukasi publik yang masif tentang keragaman Islam menjadi krusial. Kurikulum pendidikan agama di sekolah dan madrasah perlu direvisi agar tidak hanya mengajarkan doktrin, tetapi juga sejarah Islam yang inklusif dan kekayaan tradisi lokal. Inisiatif seperti lokakarya literasi keagamaan yang kritis dan diskusi lintas mazhab dapat membantu masyarakat memahami bahwa perbedaan penafsiran itu wajar dalam sejarah Islam.

Pada akhirnya, setiap Muslim memalingkan wajah ke arah yang sama saat sholat. Apa pun warna kulit, latar etnis, atau budaya, semua mengucap nama yang sama: Allah. Maka pertanyaannya, mengapa kita masih sibuk mencari perbedaan saat Allah sendiri memanggil kita dengan satu nama: hamba-Nya? Mengembangkan budaya, mendengarkan dan merayakan keragaman, alih-alih menyeragamkan, adalah langkah fundamental menuju Islam yang lebih inklusif dan damai di Indonesia.

REFERENSI

Irma, A. (2017). Muslim Tionghoa Sebagai Liyan Dalam Konsep Ukhuwah Islamiyah. Jurnal Dakwah Tabligh , 18, 16-35.

Masbullah. (2018). Konflik dan Integrasi Muhammadiyah Dengan Budaya Lokal Di Lombok Timur. Journal Ilmiah Rinjani , 6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun