oleh: M
Delapan dekade bukanlah usia muda untuk sebuah negeri yang katanya sedang berbenah menuju Indonesia Emas 2045. Tentu ini masih menjadi wacana yang diselimuti banyaknya persoalan dan kemelut yang melingkari Kemerdekaan Indonesia yang sejatinya masih terjajah. Walhasil eksistensi Pendidikan dan Kesehatan yang terus digaungkan untuk dimajukan, nyatannya hanya sebuah formalitas hitam diatas putih tanpa ada realisasi tindak lanjut untuk diperbaiki.
Merujuk pada Pendidikan hari ini, terlihat jelas kondisinya semakin absurd dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang, pendidikan sendiri masih menjadi layanan publik yang belum merata terakses untuk seluruh rakyat.
Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP). Ini terlihat bahwa masih banyak penduduk yang belum dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Ini pun didukung oleh pernyataan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan meski terjadi peningkatan dibandingkan 2023 (9,13Tahun), capaian ini baru sedikit melewati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun. Karena berdasarkan data BPS pada 2024, mayoritas pendidikan Indonesia berusia di atas 15 tahun yang memiliki Ijazah SMA atau sederajat sekitar 30,85%. (Mnews, 8-5-2025)
Melihat data dan fakta yang mendukung, masih banyak masalah di sektor pendidikan yang hanya dibiarkan semrawut oleh para pemangku kuasa, sebagai contoh ketidakadilan pada kualitas pendidikan antara kota dan desa yang sangat terasa ketimpangannya, banyak sekolah rusak dan tidak layak untuk dijadikan tempat serta ruang menimba ilmu, apakah ini bukan ketimpangan namanya ? sedang sekolah dengan fasilitas memadai dan sekolah yang bahkan tidak layak disebut bangunan sekolah.
Tentu ini hanya memunculkan beribu piramida kesenjangan yang tak pernah selesai, terdapat anak didik yang diberikan fasilitas kemudahan dalam transportasi untuk berangkat sekolah, sementara dipelosok daerah 3 T banyak anak didik yang harus menempuh kiloan meter menyusuri tanah becek, menyenberangi arus sungai yang deras dengan seutas tali dan papan seadanya, bahkan mirisnya berjalan kaki tanpa alas kaki yang layak demi dapat bersekolah meski gedung sekolahnya pun tidak layak ditempati.
Demikian juga pendidikan pada tingkatan tinggi yang indikasinya hampir sama dengan jenjang dasar, alih-alih anak negeri bisa merasakan sekolah gratis bahkan murah, tapi justru perguruan tinggi sering kali dijadikan lahan komoditas jasa yang diperjualbelikan dalam otonomi kampus. Dimana layanan pendidikan mahal bagi kelompok ekonomi ke bawah, parahnya lagi sekolah Negeri dibebani dengan UKT, sedang kampus swasta harus mandiri membiayainya. Artinya sekolah di perguruan tinggi hanya disiapkan untuk menjadi tenaga kerja murah yang siap diperkerjakan pada perusahaan-perusahaan yang pemegang kendali industi dan ekonomi adalah para pemodal kapitalis. Padahal, pendidikan sejatinya adalah benih dalam membangun Sumber Daya Manusia dan peradaban unggul.
Lalu pada bidang kesehatan sendiri, justru lebih banyak menampakkan kemundurannya dari pada kemajuan. Rakyat masih kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai, terutama pada daerah terpencil. Ini menjadi momok yang sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat, tapi pemangku kebijakan hanya diam tanpa suara. Jika melihat kebelakang, pada 2023 sebenarnya Indonesia memiliki sekitar 10 ribu puskesmas, sedang rumah sakit umu, berjumlah 2.636 unit. Namun hal ini justru dipertanyakan karena jumlah yang disebutkan sebetulnya tidak sesuai dengan penyebarannya. Apalagi pada bulan April kemarin, seorang ibu hamil di Kabupaten Luru Utara, Sulawesi Selatan terpaksa ditandu warga sejauh 22 km menuju puskesmas karena akses jalan rusak parah. Akibatnya bayi kembarnya ibu hamil tersebut meninggal dunia tersebab terlambatnya tiba di puskesmas. Ini artinya tidak ada periayaan bahkan perbaikan yang serius dari pemerintah selaku penanggung jawab. Maka bisa dilihat bahwa masih banyak fakta buruknya pengurusan negara atas hak rakyat berupa layanan dan fasilitas kesehatan yang memadai. (Mnews, 22-8-2025)
Yang menyebabkan masalah ini tak pernah selesai disebabkan pendidikan dan kesehatan dalam sistem kapitalisme diperlakukan sebagai komoditas bisnis. Kualitas sekolah ditentukan kemampuan finansial, sehingga diskriminatif. Demikian juga layanan kesehatan susah didapat untuk rakyat yang miskin. Artinya negara hanya sebagai pihak regulator, negara justru memberi akses bagi swasta untuk memainkan peran dalam memenuhi layanan publik. Walhasil, banyak sekolah yang layak dan rumah sakit swasta dibiarkan berdiri. Sementara untuk wilayah tertinggal, terpencil, dan terluar hanya diberikan fasilitas dan sarana seadanya.
Dengan demikian, jelaslah ketimpangan yang terjadi pada sektor pendidikan dan kesehatan hari ini dan terus menjalar karena negara tidak hadir dalam mengurus serta menyelesaikan masalah ini. Ada Sebagian yang berkata jika layanan publik gratis tentu fasilitias yang dihadirkan sangat minim alis pelit. Tetapi, jika berbayar maka fasilitas tersebut ditingkatkan. Ini menandakan bahwa sistem hari ini justru melahirkan diskriminasi dan kasta pada masyarakat, kaya dan miskin. Tak pelak ini seperti buah busuk yang jika dilihat dari luar mulus, tapi setelah dibelah buahnya hanya asam dan pahitlah yang didapat. Maka sebenarnya kemerdekan 80 Tahun mana yang dimerdekakan, sedang masyarakat sendiri masih terjajah dalam belenggu penjajahan dalam bentuk kesenjangan dan ketimpangan yang terus dibiarkan.
ISLAM : Solusi Umat dalam Menyelesaikan Masalah
Islam menjawab segala tantangan persoalan umat dengan penyelesaian yang benar dan adil. Baik dari segi ekonomi, politik, sosial bahkan pada hal-hal yang sangat umat perlukan. Karena kepemimpinan Islam menetapkan negara sebagai ra'in, yaitu melayani kebutuhan dasar rakyat termasuk pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar publik yang wajib dipenuhi oleh negara. Karenanya negara haruslah mewujudkan secara gratis dan berkualitas, bahkan anggaran pendidikan dan kesehatan adalah anggaran yang bersifat mutlak dan prioritas.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah membebaskan tawanan perang Badar dengan syarat mereka harus mengajari anak-anak kaum muslim membaca dan menulis. Beliau memberikan pembebasan bersyarat tersebut untuk memenuhi pendidikan anak-anak kaum muslim dengan memanfaatkan keahlian para tawanan dalam membaca dan menulis sebagai tebusannya.
Islam memposisikan pendidikan dan kesehatan sebagai hak publik. Negara Islam menjamin pendidikan dan kesehatan gratis, merata, dan berkualitas bagi semua warga tanpa diskriminasi. Sarana prasarana publik (jalan, jembatan, transportasi) dibangun negara demi mendukung akses pendidikan dan layanan kesehatan. Hal ini sudah pernah terterapkan pada masa sistem Islam. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari kabilah 'Urainah masuk Islam. Mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola baitulmal di dekat Quba'. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. Khalifah Umar selaku Kepala Daulah Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan dari rakyatnya (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).
Adapaun dalam mekanisme pembiayaan pendidikan dan kesehatan sendiri dilakukan sepenuhnya oleh negara. Ada dua sumber pos pendapatan baitulmal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu: 1, pos fa'i kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); 2, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas,hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). pun pada pembiayaan sistem kesehatan dilakukan sepenuhnya oleh negara Islam. Pembiayaan tersebut dari pos-pos pemasukan baitulmal yang salah satunya berasal dari pengelolaan barang tambang yang jumlahnya melimpah. Negara pun hadir dalam memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf bagi individu yang ingin beramal dan berkontribusi untuk kepentingan umat sehingga banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. (Mnews, 22-8-2025)
Dengan demikian, terlihat jelas bukan bahwa Islamtidak hanya sebagai agama ritual, tetapi sebuah ideologi yang membawa perubahan dalam menuntaskan permasalahan umat dari yang paling dasar hingga yang berat. Apalagi penerapan sistem pendidikan dan kesehatan Islam dengan ditopang sistem pemerintahan yang amanah, penguasa yang me-riayah, dan tenaga profesional di bidang pendidikan dan kesehatan akan mewujudkan layanan publik yang berkualitas. Tidak ada pandangan bisnis dan profit dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagaimana yang berlaku dalam sistem kapitalisme. Wallahualam bi showab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI