Media militer, terutama Berita Yudha, memberitakan bahwa Genjer-Genjer dinyanyikan anggota Gerwani saat menyiksa para jenderal di Lubang Buaya. Narasi itu kemudian disebarkan luas melalui film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI dan buku-buku sejarah versi Orde Baru.
Padahal, hasil visum resmi menyebut para jenderal tewas akibat tembakan, bukan mutilasi atau penyiksaan seksual. Kesaksian sejumlah tahanan, termasuk anggota Gerwani, juga menunjukkan bahwa tuduhan itu rekayasa. Tapi opini sudah terlanjur terbentuk: Genjer-Genjer menjadi "lagu komunis", identik dengan kekejaman dan pengkhianatan.
Hilangnya Sang Pencipta
Muhammad Arif, sang pencipta lagu, ditangkap pada Oktober 1965. Ia dituduh simpatisan PKI karena keterlibatannya di Lekra dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Sejak penangkapan itu, ia tak pernah kembali. Hingga kini, keluarga tidak pernah mendapat kabar jelas tentang nasibnya.
Slamet Menur, rekan sekaligus "tangan kanan" Arif, pernah bersaksi bahwa Arif adalah sosok flamboyan, cerdas, dan organis. Namun stigma politik membuat karya dan namanya ikut hilang. Lagu yang ia ciptakan untuk menggambarkan penderitaan rakyat justru menyeretnya ke dalam pusaran tragedi nasional.
Lagu yang Dibungkam
Di bawah Orde Baru, Genjer-Genjer dilarang total. Menyanyikan atau bahkan menyebutnya bisa berbahaya. Liriknya dipelintir: dari tentang sayur genjer menjadi kisah Gerwani menculik dan menyiksa jenderal. Versi propaganda ini sempat dimuat di Harian KAMI dan disebarluaskan untuk meneguhkan stigma.
Dalam masyarakat, ketakutan mengakar. Lagu yang semula populer berubah menjadi hantu. Banyak orang tua melarang anak-anaknya sekadar menyenandungkan Genjer-Genjer. Bagi Orde Baru, lagu ini bukan musik rakyat, tapi bukti pengkhianatan yang harus dipendam selamanya.
Luka Ingatan dan Propaganda
Reformasi 1998 menghapus larangan resmi. Genjer-Genjer kembali bisa dinyanyikan, bahkan direkam ulang oleh beberapa musisi. Namun stigma tetap kuat. Banyak yang masih mengidentikkan lagu ini dengan PKI, seolah-olah lagu ini tidak mempunya sejarah lain hanya melalui propaganda orde baru.
Sejarawan Utan Parlindungan, dalam jurnal Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu (2014), menegaskan bahwa lagu ini pada dasarnya media kritik atas penjajahan Jepang, bukan propaganda komunis. Tapi sejarah yang dipropaganda puluhan tahun membuat ingatan masa Orde Baru lebih kejam dalam ingatan publik.